– Ikuti Pelatihan, Mahasiswa Tunanetra Siapkan Diri Masuki Dunia Kerja

“Pengen tahu, sejauh mana tunanetra bisa masuk ke dunia kerja. Apakah cita-citaku untuk jadi EO (Event Organizer) bisa tercapai?” Demikian Santi—mahasiswi tunanetra jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Nasional—mengungkap alasannya mengikuti kegiatan Soft Skill Pre-Employment Training yang diselenggarakan oleh DPP Pertuni. Pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 7-15 Agustus 2015 lalu di Jakarta, tampaknya memberi manfaat cukup besar bagi 18 peserta tunanetra yang hadir.

 

Menurut Santi, kebanyakan tunanetra saat ini bekerja di bidang yang relative serupa, seperti call center dan telemarketing. Namun setelah mengikuti pelatihan ini—khususnya ketika melakukan sesi kunjungan ke sebuah perusahaan komunikasi—Santi pun mengetahui, bahwa ada banyak bidang yang sebenarnya juga sangat mungkin dikerjakan oleh tunanetra. “Ternyata banyak kok bidang yang bisa dikerjakan oleh tunanetra, asal kita bisa komputer (dengan perangkat lunak pembaca layar). Misalnya seperti jadi content writer, creative director, Public Relation, atau menyusun strategi marketing. Itu bisa banget,” jelas Santi.

Game mengenai Bentuk Gambar

Materi yang diberikan dalam pelatihan ini terbilang sederhana, namun disampaikan dengan cara yang unik. Pada salah satu sesi, peserta ditugaskan untuk membeli barang yang ”tendensius” seperti kondom di minimarket setempat. Setiap fasilitator hanya menemani dan tidak boleh terlibat langsung dalam komunikasi dengan orang lain, termasuk berbicara dengan kasir. Pada sesi tersebut, peserta belajar tentang konsep percaya diri, bagaimana menyampaikan keinginan secara asertif, memahami bahwa konflik merupakan sebuah kewajaran dalam kehidupan, serta belajar menyusun strategi dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Jika dianalogikan dalam dunia kerja, kegiatan ini mendorong tunanetra untuk berani mengungkapkan keinginannya—termasuk jika ia membutuhkan bantuan tertentu untuk memfasilitasi keterbatasan pengelihatannya. Selain itu, peserta tunanetra yang membeli sebuah barang di mini market, berarti ia memiliki uang. Artinya, ketika memasuki dunia kerja, seorang tunanetra sekalipun harus berani menawarkan kemampuan yang dimilikinya kepada perusahaan. Dengan kata lain, ia didorong untuk tidak mempermasalahkan ketunanetraan yang disandangnya, namun justru lebih percaya diri untuk menonjolkan kelebihan yang dimilikinya.

 

Fakhry, mahasiswa Jurusan Sastra Jerman Universitas Indonesia menyatakan, sesi tersebut menjadi salah satu sesi yang paling menarik sepanjang pelatihan. Ia mengungkapkan, banyak peserta pelatihan yang tampak malu dan segan menyebut nama barang yang harus mereka beli tersebut kepada kasir mini market. Berbeda dengan kawan-kawannya, Fakhry justru menyikapi tugas tersebut dengan cukup percaya diri. “Kalau gue sendiri sih, gue bilang aja apa yang mau gue beli. Gue kan nggak menggunakan barang itu untuk hal yang nggak-nggak. Justru di situ kita dilatih untuk berani bertanya,” katanya.

 

Bagi tunanetra, kegiatan Soft Skill Pre-Employment Training agaknya merupakan sebuah kegiatan yang baru. Tidak hanya bagi DPP Pertuni selaku penyelenggara dan mahasiswa tunanetra sebagai peserta. Namun, demikian pula bagi Alabanyo Brebahama, penyandang low vision yang berperan sebagai trainer dalam pelatihan tersebut.

 

Alabanyo adalah dosen Fakultas Psikologi di Universitas YARSI. Ia sudah berpengalaman memberi pelatihan serupa kepada orang-orang berpengelihatan awas. Namun, saat memberi pelatihan kepada tunanetra, ada beberapa kendala yang sempat ia rasakan. Metode pelatihan yang diberikan dalam bentuk permainan dapat disampaikan dengan mudah kepada peserta yang berpengelihatan awas. Namun, tidak demikian dengan peserta tunanetra yang memiliki hambatan visual. Alabanyo perlu menyesuaikan jenis permainan yang akan disampaikan agar aksesibel dengan peserta tunanetra. Untuk itu, selama masa penyusunan modul, Alabanyo banyak berkonsultasi dengan Ketua Umum Pertuni dan beberapa mahasiswa tunanetra agar memperoleh gambaran lebih jelas mengenai materi yang mereka butuhkan dalam pelatihan.

Bapak Alabanyo berinteraksi dengan Peserta

Sebagai seorang dosen yang menyandang low vision, pelatihan ini menjadi pengalaman yang menarik bagi Alabanyo. Selama pelatihan, ia dibantu oleh lima orang mahasiswanya. Melalui pelatihan ini, Alabanyo tidak hanya memberikan pelatihan soft skill kepada peserta tunanetra. Ternyata, ia juga menjadikan kesempatan ini sebagai sarana pelatihan bagi kelima mahasiswanya yang bertugas sebagai fasilitator. “Di satu sisi, Pre-Employment Training itu melatih tunanetra untuk matang dalam persiapan karier. Tapi saya juga melatih mahasiswa saya tentang bagaimana meng-handle tunanetra dalam pendidikan anak berkebutuhan khusus, serta bagaimana mereka berpartisipasi dalam kegiatan training,”.

 

“Sangat bermanfaat,” ujar Santi saat ditanya bagaimana kesan yang ia peroleh setelah mengikuti pelatihan. “Di luar ekspektasiku ya. Tadinya aku pikir akan banyak materi (teori). Tapi ternyata juga diajarkan tekhnik wawancara; bagaimana menghadapi interviewer, bagaimana cara berjalan, bagaimana ekspresi saat menghadapi interview”, lanjutnya.

 

Program Higher Education merupakan salah satu program DPP Pertuni bersama ICEVI. Program ini akan berjalan selama 3 tahun, yaitu tahun 2015-2018. Selama periode tersebut, soft skill pre-employment training direncanakan akan diselenggarakan di lima kota, yaitu Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Bulan Oktober mendatang,  pelatihan serupa akan diadakan di pusat layanan disabilitas UIN sunan kalijaga Yogyakarta. .

***

Bagikan ke yang lain

About Author

Leave Comment

Back to top