Akhir tahun ajaran 2015-2016 telah tiba. Sebagian anak naik kelas, sebagian yang lain masuk sekolah baru ke jenjang yang lebih tinggi. Ini juga dialami anak-anak tunanetra. Pada pertengahan bulan Juli mendatang, tahun ajaran baru tiba. Dan anak-anak pun, termasuk anak tunanetra kembali bersekolah. Begitulah seterusnya, silih berganti, setiap tahun.
Pertanyaan besar selanjutnya, berapakah jumlah anak tunanetra yang baru mulai bersekolah pada tahun ajaran mendatang? Apakah orang tua yang memiliki anak tunanetra secara otomatis memahami bagaimana pendidikan untuk anak-anak tunanetra mereka? Sehingga, ketika anak tunanetra mereka memasuki usia sekolah mereka juga membawa mereka bersekolah sebagaimana anak-anak lain yang tidak tunanetra?
Jawabnya, “belum tentu”.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi “anak tunanetra yang memasuki usia sekolah mereka juga ada di sekolah”.
Faktor utama adalah pengetahuan dan kesadaran orang tua, menyiapkan anak tunannetra mereka untuk bersekolah dan membawa mereka bersekolah. Faktor penting yang lain adalah adanya dukungan lingkungan, terutama pemerintah daerah, membangun kesadaran keluarga yang memiliki anak tunanetra agar menyekolahkan anak mereka, dan melakukan upaya pro aktif mencari dan menemukan setiap anak tunanetra yang belum bersekolah dan membawa mereka ke sekolah.
Dalam rangka mengakselerasi jumlah anak tunanetra bersekolah, pada awal tahun 2016, bertepatan dengan peringatan 50 tahunnya, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) mencanangkan gerakan “ayo sekolah anak tunanetra”. Gerakan ini dicanangkan di 9 kota, dalam sebuah kegiatan “parade tongkat putih”, yaitu mulai di Surabaya, Tuban, Semarang, Solo, Jogjakarta, Purwokerto, Garut, Bandung, dan berakhir di Jakarta.
Agar gerakan “ayo sekolah anak tunanetra” ini dapat benar-benar bergerak, diperlukan langkah afirmatif Pertuni bersama pemerintah daerah. Mengapa pemerintah daerah? Ya, karena, diera otonomi daerah saat ini, kita semua adalah warga “pemerintah daerah”. Menjadi tanggungjawab pemerintah daerahlah untuk membuat setiap anak di daerahnya bersekolah, termasuk anak tunanetra.
Bagi Pertuni, menggerakkan pemerintah daerah tentu bukan hal mudah. Diperlukan kualitas pengurus yang handal untuk melakukannya. Dan, faktanya, belum semua daerah memiliki pengurus dengan kualitas yang mampu menggerakkan pemerintah daerah secara sistematis.
Dewan Pengurus Pusat (DPP) Pertuni memutuskan untuk mengawalinya di Jakarta, daerah khusus ibu kota, di mana DPP Pertuni berada.
Langkah pertama diawali dengan pertemuan dengan Gubernur DKI Jakarta, yang dilaksanakan pada 31 Desember 2015. Tujuan utama pertemuan adalah meminta Pemda DKI memfasilitasi peringatan 50 tahun Pertuni yang diselenggarakan di Monas pada 31 Januari, dan di sanalah gerakan “ayo sekolah anak tunanetra Jakarta” dicanangkan bersama Wakil Gubernur.
Setelah satu bulan berlalu, dan belum ada reaksi apa pund ari Pemda DKI Jakarta, DPP Pertuni kembali menyampaikan surat, meminta adanya pertemuan lanjutan untuk mengkoordinasikan implementasi gerakan “ayo sekolah anak tunanetra”. Beberapa pertemuan dengan satuan kerja Pemda DKI Jakarta terkait pun kemudian dilaksanakan. Terakhir, pertemuan dilaksanakan oleh Biro Tata Pemerintahan Pemda DKI Jakarta, mengundang lima wali kota di Jakarta, dengan agenda utama “melakukan pendataan”.
Langkah penting.
Langkah penting untuk mengakselerasi jumlah anak tunanetra bersekolah adalah “pendataan”. Langkah ini dilakukan untuk mencari dan menemukan keberadaan anak tunanetra di seluruh penjuru DKI Jakarta. Pendataan dilakukan oleh jajaran Biro Tata Pemerintahan Pemda DKI Jakarta, yang membawahi lurah, RW dan RT di seluruh Ibu Kota. Meski permintaan datang dari Pertuni untuk mendata anak tunanetra di Jakarta, terutama yang belum bersekolah, Pemda memutuskan bahwa pendataan dilaksanakan untuk semua penyandang disabilitas.
Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah melakukan pemetaan. Bagi Penyandang disabilitas yang telah bersekolah, harus dipastikan mereka telah memiliki kartu jakarta pintar KJP. Bagi penyandang disabilitas usia sekolah dan belum bersekolah, mereka akan dibawa ke sekolah terdekat dengan tempat tinggal mereka. Sedangkan bagi penyandang disabilitas yang belum berpendidikan namun telah melewati usia sekolah, mereka akan disalurkan untuk mengikuti pendidikan kesetaraan dan diberikan ketrampilan bekerja sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi.
Pendataan penyandang disabilitas ini juga dapat dimanfaatkan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta, yaitu untuk memastikan para penyandang disabilitas ini memiliki Kartu Jakarta Sehat KJS.
Setelah jumlah penyandang disabilitas yang belum bersekolah diketahui dan mereka disalurkan ke jalur dan jenjang pendidikan yang sesuai, langkah berikut adalah mengidentifikasi kebutuhan khusus mereka. Pemda DKI Jakarta harus mengalokasikan dana untuk pemenuhan kebutuhan khusus pendidikan bagi warga Jakarta penyandang disabilitas.
Langkah Afirmatif Sebagai Model.
Langkah DPP Pertuni bersama Pemda DKI Jakarta ini dapat dijadikan “model” untuk kawasan perkotaan. Jika proses bersama Pemda DKI telah berjalan lebih lanjut, langkah kemudian adalah DPP menyebarluaskannya ke daerah lain, membuat percontohan wilayah perkotaan di propinsi-propinsi lain. Langkah berikut adalah memilih kawasan “kabupaten” di mana di dalamnya terdapat kawasan “pedesaan” sebagai model.
Menggerakkan gerakan “ayo sekolah anak tunanetra” di kawasan perkotaan tentu berbeda dengan kawasan pedesaan. Pertuni memang harus melakukan gerakan ini, karena, hingga saat sekarang, pemerintah belum pernah melakukan langkah afirmatif apa pun untuk membawa lebih banyak dan lebih banyak lagi anak-anak penyandang disabilitas ke sekolah. *
Aria Indrawati.