Dalam gerakan keorganisasian, regenerasi menjadi hal penting. Gerakan harus terus berlanjut dan karena itu, regenerasi juga harus terjadi. Menghimpun, membina, mengarahkan dan mendengarkan suara pemuda kemudian menjadi cara-caranya. Tidak banyak organisasi yang berhasil, atau bahkan ingin melakukan regenerasi. Dan Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) memiliki komitmen untuk melakukan hal tersebut. Membina, mengarahkan, serta memberdayakan pemuda tunanetra. Yang kelak diharapkan akan melanjutkan gerakan dan menuruskan perjuangan. Salah satu perjuangan yang menjadi tantangan besar adalah terkait penyediaan pendidikan dan lapangan kerja bagi tunanetra di Indonesia.
Lulus SMA kemudian mendaftar di jurusan PLB atau sastra, hingga saat ini, masih menjadi tran pada kalangan tunanetra di Indonesia. Mayoritas tunanetra ingin berkuliah di dua jurusan tersebut. Entah karena memang minat di bidang pendidikan luar biasa dan sastra, ataukah hanya terhegemoni oleh pemikiran yang berkembang di masyarakat luas. Tunanetra kerab dianggap tak mampu melakukan apa-apa. Jika menjadi guru, ya paling banter menjadi guru di SLB atau yang sekarang berubah nama menjadi SK (Sekolah Khusus).
Kenyataan yang penulis identivikasi di kota Makassar, beberapa tunanetra ragu dan bahkan takut memilih berkuliah di jurusan lain sebab khawatir tidak akan mendapat pekerjaan. Ini juga sejalan dengan penolakan-penolakan yang terjadi di sektor ketenagakerjaan. Tunanetra masih dipandang berdasarkan kondisi fisik, bukan berdasar kemampuannya. Hal ini menjadi tugas bagi pihak-pihak yang memperjuangkan hak tunanetra. Agar kedepannya penyedia lapangan kerja bisa mempercayai kemampuan dan tunanetra tidak ragu apalagi takut memilih jurusan sesuai dengan minat bakat mereka.
Sejalan dengan isu di atas, Pertuni kemudian mengutus tujuh orang pemuda tunanetra untuk mengikutiBlind Youth Summit 2023 dengan tema bahasan pendidikan dan pekerjaan bagi tunanetra. Blind youth summit kali ini diadakan di Filipina, mulai dari tanggal 3 sampai dengan 5 Desember 2023. Menghadirkan tunanetra-tunanetra muda dari berbagai negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Indonesia, Kamboja, Laos, Mianmar, dan tentu saja Filipina sebagai tuan rumah. Kegiatan dengan konsep sederhana, berkumpul dan memaparkan hasil serta tujuan mendatang di negara masing-masing. Tetapi dengan suasana dan semangat yang sama sekali tidak sederhana.
Dalam tiga hari kurang lebih kegiatan berlangsung, setiap negara memaparkan keadaan tunanetra di wilayah mereka masing-masing. Tujuan, perencanaan, hasil sampai dengan evaluasi pemenuhan hak-hak tunanetra. Ini membuka ruang bagi negara-negara yang hadir untuk saling mengetahui kondisi di negara lain, kemudian menjadikannya pembelajaran bagi negara sendiri. Misalnya saja seperti Filipina yang hadir dengan gagasan kuota minimal pekerja disabilitas, dan layanan pendidikan yang ramah terhadap tunanetra. Tidak ketinggalan pemerintah Filipina yang banyak memfasilitasi tunanetra dalam mengembangkan potensi diri, berkarya, dan bekerja. Pencapaian Filipina itu dapat dijadikan referensi bagi negara-negara yang belum memadai dalam pemenuhan hak disabilitas, terutama tunanetra.
Cara Filipina dalam mengadvokasi pemerintah dapat dicontoh oleh negara-negara lain, terutama apabila kita melihat lapangan kerja bagi tunanetra di Filipinayang terbuka lebar. Tunanetra di Filipina bekerja di bidang yang mereka minati masing-masing dan menjadi berdaya dengan potensi yang beragam. Bukan hanya satu dua profesi yang marak dipilih oleh tunanetra di Filipina, tapi nyaris semua sektor ketenagakerjaannya sudah ramah terhadap tunanetra.
Meski demikian, ada juga negara-negara yang masih menghadapi kesulitan dalam pemenuhan hak tunanetra. Misalnya saja di Kamboja, yang bahkan belum memiliki pembaca layar dalam bahasa mereka sendiri. Sementara menurut tunanetra perwakilan dari Kamboja,
orang-orang Kamboja tidak banyak yang fasih berbahasa Inggris. Tidak seperti di Filipina yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua mereka, yang mana mayoritas tunanetra di Filipina fasih berbahasa Inggris. Kamboja menghadapi tantangan berlipat-lipat kali. Pertama, belum adanya pembaca layar dalam bahasa mereka. Yang kedua, rendahnya minat berbahasa inggris dari masyarakat kamboja. Yang ketiga, juga soal stereotipe buruk terkait tunanetra di masyarakat luas. Padahal jika kita telisik lebih jauh, bahasa Inggris memiliki peranan penting dalam upaya pemenuhan hak tunanetra. Dengan bahasa Inggris, orang lebih mudah untuk bertukar informasi dengan tunanetra atau pemerhati tunanetra di negara lain.
Sementara Laos dan Mianmar, dalam kegiatan blind youth summit 2023 kemarin, tidak dapat menampilkan banyak laporan dari negara mereka. Makanya penulis tidak berhasil mengulik bagaimana keadaan tunanetra di Laos dan Mianmar. Sedikit dari Mianmar, sepertinya, mereka masih merintis. Mengingat Mianmar juga belum sepenuhnya lepas dari konflik di dalam negara, jadi hal ini cukup logis terjadi. Di saat negara lain sudah mulai menuai hasil dari perjuangan panjang pemenuhan hak tunanetra, kedengarannya, Mianmar justru baru memulai perjuangan itu. Ini penulis simpulkan dari pernyataan perwakilan dari Mianmar yang mengatakan bahwa di Mianmar, mereka masih perlu banyak mengadvokasi dan mendata tunanetra.
Jika Filipina hadir sebagai negara yang ideal dalam pemenuhan hak tunanetra, kemudian Laos dan Mianmar tidak terlalu dapat diidentivikasi. Berbeda lagi dengan Indonesia dan Vietnam yang kesannya stabil dalam perjuangan hak tunanetra. Indonesia dan Vietnam telah memiliki kontruksi dalam perjuangan hak tunanetra dengan adanya sistem pendidikan dari pemerintah, usaha pemberdayaan tunanetra melalui regulasi dan lain sebagainya. Jika dilihat dari perkembangan pendidikan dan pekerjaan tunanetra di Indonesia dan Vietnam, bisa dikatakan dua negara ini belum maksimal tetapi sudah sangat baik dalam mengakomodir kebutuhan dan kelebihan tunanetra di negara mereka masing-masing.
Penulis memandang blind youth summit sebagai kegiatan yang sangat progresif, di mana orang-orang muda dari berbagai negara diberi ruang untuk menyuarakan hak mereka dan isu mereka sendiri. Lebih lanjut, dalam blind youth summit ini juga, orang muda khususnya tunanetra muda diberi kepercayaan untuk berbicara, berdiskusi, dan bertukar informasi dengan tunanetra muda dari negara-negara lain. Dengan begitu, tunanetra muda di berbagai negara ini dapat bersinergi dalam upaya advokasi di negara masing-masing. Mereka juga diberi peran dalam memperjuangkan hak mereka sendiri sehingga proses regenerasi bisa terjadi secara alami.
**Nabila May Sweetha