“Yang kami maksud dengan layanan bank ramah tunanetra itu bukan hanya berupa sambutan hangat ketika seorang nasabah tunanetra memasuki bank, tetapi juga bagaimana customer service bisa mengakomodir kebutuhan khusus kami,” ujar Eka Setiawan, Ketua Departemen Advokasi DPP Pertuni saat membuka FGD Sistem dan Layanan Bank yang Aksesibel danRamah bagi Tunanetra di Royal Kuningan Hotel, Jakarta (14/9). Dari sekitar 14 bank yang diundang, hadir beberapa di antaranya sebagai peserta FGD, yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, Bank Bukopin, Bank Mega, Bank CIMB Niaga, Bank Permata, dan Standard Chartered Bank. Sebagian dari bank tersebut telah memiliki nasabah tunanetra, namun sebagian lainnya masih mempermasalahkan beberapa hal.
Di Indonesia, masih kerap terjadi, tunanetra yang ditolak saat hendak membuka rekening bank. Alasan utamanya, sering kali hanya karena anggapan pihak bank yang memandang tunanetra sebagai individu yang tidak mandiri-sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjaga keamanan rekeningnya sendiri. “Yang menjadi pertimbangan bagi pihak bank adalah terkait kerahasiaan. Misalnya, ketika tunanetra menggunakan pin ATM, itu adalah hal yang sangat rahasia, sementara saat ini belum semua mesin ATM friendly terhadap tunanetra,” ungkap Rizal, perwakilan Bank Mandiri saat diminta pandangannya tentang nasabah tunanetra.
Permasalahan lain, yaitu bahwa tunanetra dianggap tidak dapat membaca dokumen persyaratan pembukaan rekening secara mandiri. Padahal, seharusnya hal ini dapat diatasi hanya dengan cara yang sangat sederhana, yakni dengan dibacakan oleh customer service. Selain itu, banyak bank yang juga masih mempermasalahkan tanda tangan tunanetra yang tidak konsisten. “Kalau di BNI, hal ini kami atasi dengan membubuhkan pas foto pada buku tabungan nasabah tunanetra (saat membuka rekening) untuk memperkuat validasi tanda tangan,” ungkap Ronald, perwakilan BNI.
Aria Indrawati, Ketua Umum DPP Pertuni, sangat menyayangkan berbagai asumsi negatif terkait nasabah tunanetra. Pasalnya, menurut Aria, tunanetra merupakan calon nasabah yang potensial. Berdasarkan estimasi Kementrian Kesehatan, jumlah tunanetra di Indonesia berkisar 1,5% jumlah penduduk atau sekitar 3.750.000 orang. Jumlah tersebut menjadi sangat menguntungkan bagi pihak bank, mengingat karakter konsumen tunanetra yang cenderung loyal terhadap produk dan layanan yang aksesibel.
Berdasarkan hasil sharing dan diskusi dari semua perwakilan bank yang hadir, dapat disimpulkan, bahwa salah satu solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan nasabah tunanetra adalah membuat regulasi yang dibutuhkan. Sebagai regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memastikan – dalam bentuk kebijakan tertulis – bahwa setiap tunanetra diterima menjadi nasabah bank sama seperti warga masyarakat bukan tunanetra. Selain itu, OJK juga perlu membantu bank membuat prosedur standar bagaimana melayani tunanetra di bank. Selanjutnya, kebijakan tersebut harus disosialisasikan ke semua bank baik bank milik pemerintah maupun milik swasta, baik swasta lokal maupun asing. “Untuk merealisasikan upaya tersebut, OJK perlu mengumpulkan berbagai bank dalam sebuah forum diskusi untuk membicarakan langkah-langkah konkretnya secara lebih detail,” jelas Aria.
Sementara itu, Oni Setiono, perwakilan dari OJK mengakui bahwa saat ini OJK belum memiliki regulasi khusus yang mengatur prihal nasabah tunanetra secara spesifik. Ia berjanji, bahwa apa yang didiskusikan pada FGD ini akan disampaikan kepada Direktorat Literasi, Edukasi, dan Layanan Konsumen untuk ditindaklanjuti.*
Humas DPP Pertuni