Program Higher Education adalah sebuah misi yang digagas oleh International Council Of Education For People With Visual Impairment (ICEVI), dengan tujuan besar untuk melahirkan lebih banyak pemimpin tunanetra di kawasan Asia Tenggara. Dengan memiliki lebih banyak pemimpin dari kalangan generasi muda tunanetra, ICEVI percaya, perubahan akan dapat lebih dipercepat. Cara yang ICEVI pilih untuk melahirkan lebih banyak pemimpin dari kalangan generasi muda ini adalah dengan meningkatkan akses dan kualitas para tunanetra ke pendidikan tinggi, melalui dorongan membangun sistem pendidikan tinggi yang inklusif.
Program Higher Education Dimulai pada tahun 2006, dan Indonesia dipilih menjadi tempat pertama untuk mengujicobakan misi ini. Saat itu, Larry Campbell, Presiden ICEVI, berasumsi bahwa jumlah tunanetra di Indonesia yang menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi masih sangat sedikit. Asumsi ini dikonfirmasi oleh survei yang dilakukan oleh DPP Pertuni pada tahun 2005, yang mencatat hanya 250 tunanetra menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi. Hasil survei ini menghimpun pelbagai persoalan yang dihadapi tunanetra di Indonesia, yang telah menghalangi mereka menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi. Di antaranya adalah minimnya akses ke referensi/buku, kurangnya pemahaman penyelenggara pendidikan tinggi bahwa para tunanetra juga dapat menempuh pendidikan tinggi di pelbagai program studi, serta masalah keterbatasan biaya. Masalah-masalah tersebut telah mengakibatkan sebagian besar tunanetra yang menempuh pendidikan tinggi kala itu drop out.
Baca juga: Keterlibatan Tunanetra Indonesia dalam World Blindness Summit 2021
Dengan dukungan alat bantu teknologi; Komputer bicara, scanner yang dilengkapi aplikasi OCR yang accessible, CCTV portable untuk mereka yang berpenglihatan lemah, Program ini telah berhasil membangun model perguruan tinggi inklusif melalui pendirian pusat layanan mahasiswa tunanetra di beberapa perguruan tinggi di Bandung, Jakarta dan Surabaya.
Setelah terbukti efektif membantu mahasiswa tunanetra menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi, Program Higher Education diperluas ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, hingga kini telah mencapai 7 negara; Indonesia, Filipina, Vietnam, Cambodia, Myanmar, Laos dan Mongolia. Adalah The Nippon Foundation, lembaga donor swasta asal jepang, yang memiliki komitmen kuat mendukung misi ini dari awal hingga berjalan selama 16 tahun.
Setiap tahun secara rutin, para koordinator program Higher Education dari 7 negara mengadakan pertemuan; Membagikan kisah sukses dan tantangan yang dihadapi selama bekerja di masing-masing negara; Saling belajar dan mendukung satu sama lain. Kelompok ini telah tumbuh menjadi sebuah jaringan kerja sama yang solid.
Sejak pandemi melanda, pertemuan senantiasa dilaksanakan secara virtual. Dan, di tahun 2022 ini, meski sebenarnya angka penularan COVID 19 sedang meninggi, ICEVI dan The Nippon Foundation memutuskan untuk menyelenggarakan pertemuan regional secara tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin; Dan Pertuni dipilih sebagai tuan rumah. Bagi ICEVI dan The Nippon Foundation, Jakarta memang spesial. Di kota inilah Program Higher Education dipersiapkan dan dimulai; Dievaluasi dan kemudian disimpulkan berhasil secara efektif, hingga akhirnya dapat menjangkau 7 negara di kawasan Asia Tenggara plus Mongolia.
Selama kurang lebih 16 tahun, misi ini telah meningkatkan jumlah tunanetra menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi. Tercatat sebanyak lebih dari 2000 mahasiswa tunanetra di 7 negara tersebut.
Pada tahun 2014, Program Higher Education mulai menjangkau ranah employment, terutama di tiga negara yang dipandang telah lebih maju, yaitu Indonesia, Filipina dan Vietnam. Alasan untuk memulai misi di ranah tenaga kerja ini didasari keyakinan bahwa kampanye pendidikan tinggi inklusif akan berhasil dengan lebih cepat jika kita dapat membuktikan bahwa tunanetra yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi dapat terserap di lapangan kerja sektor formal.
Misi ini pun telah melahirkan model, sosok-sosok generasi muda tunanetra yang memiliki keberanian memasuki dunia kerja di arus utama, bekerja bersama-sama mereka yang tidak menyandang disabilitas. Hadirnya generasi muda tunanetra berpendidikan tinggi ini pun secara perlahan telah mengubah cara pandang para pemberi kerja tentang kemampuan mereka berkarya bersama mereka yang tidak menyandang disabilitas.
Baca juga: 5 Fakta Pre-Employment Soft Skill Training: Persiapkan Tunanetra Masuki Dunia Kerja Inklusif
Tahun 2023 mendatang adalah tahun terakhir implementasi misi Program Higher Education di asia Tenggara termasuk Mongolia. Pada desember 2023, Program yang telah melahirkan lebih banyak kader dan model tunanetra muda yang berkarya di arus utama dunia kerja akan secara resmi ditutup. Ada banyak jejak yang telah ditinggalkan. Di Indonesia, misi Program Higher Education bahkan telah berperan melahirkan kebijakan terkait; peraturan Menteri Pendidikan Dan kebudayan no. 46 tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi – Pendidikan tinggi yang inklusif; Regulasi di tingkat menteri ini kemudian telah ditingkatkan kekuatan mandatnya dengan memasukkannya ke dalam bagian UU No. 8/2016 tentang penyandang Disabilitas.
Sebuah “Youth Summit” akan diselenggarakan di Indonesia, menandai berakhirnya misi Program Higher Education di asia Tenggara plus Mongolia. Youth Summit ini direncanakan diahdiri oleh sekurang-kurangnya 60 generasi muda tunanetra yang sedang menempuh pendidikan tinggi atau baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi. Mereka diharapkan menjadi “core team” untuk mengakselerasi gerakan advokasi di arena disabilitas di Asia Tenggara, bahkan dunia.
“Pendidikan dasar dan pendidikan menengah memang penting; Sedankgan pendidikan tinggi adalah jalan strategis menuju perubahan.”
*Aria Indrawati