Salah satu kategori ketunanetraan yang dialami masyarakat adalah “low
vision” atau “lemah penglihatan”. Low Vision adalah kondisi lemah pengelihatan yang tidak bisa dibantu dengan kacamata biasa. Kondisi ini akan mengakibatkan seseorang kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti bepergian, membaca, menulis, dan lain-lain. Akibatnya, penyandang low vision menjadi kurang optimal dalam mencapai prestasi, baik dalam bidang pendidikan maupun pekerjaan. Menurut WHO–Badan Kesehatan Dunia, jumlah penyandang low vision tiga kali lipat jumlah penyandang totally blind. Di Indonesia, hingga kini sebagian besar penyandang low vision belum tertangani dengan baik. Kondisi inilah yang mendorong DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) untuk membuka Pusat Layanan Low Vision untuk pertama kalinya di Yogyakarta. Pusat Layanan Low Vision akan dirresmikan oleh Gubernur DI. Yogyakarta pada hari Senin, 19 Oktober 2015 pukul 10:00 s.d. 11:30 di Jl. Ontorejo No. 14 Wirobrajan Yogyakarta
Pusat Layanan Low Vision Pertuni adalah lembaga nirlaba yang dikelola oleh DPP Pertuni, sebuah organisasi kemasyarakatan tunanetra tingkat nasional. Melalui layanan yang diberikan oleh Pusat Layanan Low Vision Pertuni, diharapkan para penyandang low vision dapat memfungsikan sisa pengelihatan yang dimiliki, sehingga tetap mampu berkontribusi di masyarakat secara mandiri.
“Di sini, penyandang low vision diberikan layanan dari A sampai Z, bukan hanya assessment,” jelas Yanto Pranoto, Penanggung Jawab Kegiatan di Pusat Layanan Low Vision Pertuni. Di Pusat Layanan Low Vision, para penyandang low vision diberikan berbagai bentuk layanan, mulai dari pemeriksaan mata, penyediaan alat bantu pengelihatan, pelatihan penggunaan alat bantu, hingga bimbingan dan konseling. Lebih spesifik lagi, Pusat Layanan Low Vision juga akan memberikan pelatihan kepada guru-guru mengenai deteksi dini penyandang low vision serta layanan khusus bagi siswa penyandang low vision. Dengan demikian, anak-anak low vision di sekolah dapat tetap berkontribusi secara optimal serta berprestasi sebagaimana anak-anak pada umumnya.
Pusat Layanan Low Vision yang dikelola secara mandiri oleh DPP Pertuni ini juga menyediakan pelayanan terapi kesehatan oleh para pemijat tunanetra. Dengan demikian, layanan terapi kesehatan ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat dalam menyelenggarakan panti pijat professional. Pasalnya, di tempat ini pemijat tidak hanya diberikan ruangan untuk memijat, tetapi juga fasilitas dan sarana pendukung sebagai pemijat professional.
Sebelumnya, DPP Pertuni telah menjalin kerja sama dengan RS Sarjito untuk membuka unit layanan low vision di rumah sakit tersebut pada akhir tahun 2014 lalu. Namun, unit layanan low vision di RS Sarjito lebih memfokuskan pelayanan pada pemeriksaan kesehatan. Lain halnya dengan Pusat Layanan Low Vision Pertuni yang memberikan pelayanan secara lebih terpadu.
Yanto menambahkan, Unit Layanan Low Vision di RS Sarjito masih beroperasi hingga hari ini. Namun karena berbagai keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia maupun pendanaan, agaknya Unit Layanan Low Vision di RS Sarjito masih memerlukan dukungan dan pendampingan dari DPP Pertuni. “Nah, jadi nanti kalau ada kendala dari social worker kita yang bertugas di Unit Layanan Low Vision RS Sarjito, mereka bisa bersinergi dengan Pusat Layanan Low Vision ini,” ujar Yanto.