Suatu hari, ada seorang tunanetra yang telah berusia 21 tahun berkonsultasi pada saya. Ia menyampaikan ingin dibantu agar dapat bekerja. Selama ini ia tinggal dan belajar di Bandung. Saat saya bertanya apa pendidikannya, ia menyampaikan lulusan SMPLB.
Dalam melaksanakan program “job promotion dan job placement”, sebagai seorang konselor bimbingan karir untuk tunanetra, saya telah menetapkan standar, bahwa tunanetra yang saya dampingi dalam persiapan bekerja, minimum harus berpendidikan SMA atau yang sederajat. Mengatahui pendidikan tunanetra yang sedang berkonsultasi dengan saya baru SMP, saya menyarankan agar ia mengikuti pendidikan kesetaraan tingkat SMA dulu ; – Paket C. Sang tunanetra menolak. Ia merasa sudah terlalu tua untuk sekolah. Saya berupaya memberikan pemahaman dan contoh-contoh, tunanetra yang terlambat bersekolah, dan mengikuti pendidikan kesetaraan, mereka menikmati kehidupan lebih berkualitas. Pendidikan telah mengangkat mereka, menjadi manusia yang lebih berkualitas.
Sang tunanetra tetap menolak. Setelah berdiskusi panjang, akhirnya ia mengaku bahwa para pengasuh dan pelatih di PSBN – Panti Sosial Bina Netra – Wiyata Guna Bandung telah mengajarkan padanya, bahwa tunanetra tidak perlu berpendidikan terlalu tinggi, karena setinggi apa pun pendidikan, nanti juga akan kesulitan bekerja. Jika sudah begitu, akhirnya memilih profesi menjadi pemijat juga. Input negatif yang telah ditanamkan oleh para pengasuh/pembimbing di panti sosial yang berada di bawah Kementerian Sosial itu pada sang tunanetra ternyata begitu tertanam di pikirannya, sampai-sampai ia merasa tidak perlu melanjutkan sekolah, meskis ebenarnya ia mampu.
Seorang teman, sesama pengurus di Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) yang berprofesi sebagai guru di SLB tunanetra kota Bandung, punya cerita yang lain. Ia didatangi oleh orang tua yang memiliki anak tunanetra. Keluarga ini berasal dari kota kecil di Jawa Barat. Niat orang tua untuk menyekolahkan sang anak di SLB –A kota Bandung begitu kuat. Namun, mereka tidak memiliki siapa pun di kota kembang tersebut, yang dapat dititipi anak tunanetra mereka selama menempuh pendidikan. Teman saya lalu menyarankan kepada orang tua tersebut agar menyampaikan permohonan kepada PSBN Wiyata Guna Bandung, yang memiliki asrama dan lokasinya satu halaman dengan SLB-A kota Bandung, agar diijinkan tinggal di asrama wiyata guna selagi menempuh pendidikan di Bandung. Orang tua anak tunanetra ini kemudian menjalankan apa yang disarankan. Namun, pihak PSBN Wiyata Guna hanya mengijinkan tunanetra tinggal di asrama mereka jika tunanetra tersebut mengikuti kegiatan di PSBN Wiayata Guna.
Dua kejadian tersebut adalah kisah nyata, yang bukan tidak mungkin juga terjadi di pelbagai kota di Indonesia. Tarik-menarik antar lembaga, berebut kelompok sasaran. Semakin banyak kelompok sasaran yang dilayani, berarti dana yang dikucurkan untuk lembaga juga semakin banyak. Dengan pola pikir semacam ini, mereka tidak berfokus pada kepentingan masyarakat yang seharusnya dilayani.
Kebanyakan Keluarga yang memiliki anak tunanetra awam soal pendidikan tunanetra. Aparatur sipil negaralah yang seharusnya bertugas memberi informasi, dan informasi ayng dierikan seharusnya informasi yang benar. Bahwa setiap anak harus bersekolah. Indonesia telah melaksanakan program wajib belajar 12 tahun, dan wajib belajar ini harus berlaku untuk semua anak Indonesia, termasuk anak penyandang disabilitas. Jika sebuah panti sosial baik milik kementerian sosial maupun dinas sosial didatangi atau menemukan tunanetra usia sekolah yang belum bersekolah, menjadi tugas merekalah membantu agar anak tunanetra itu bersekolah. Jika yang ditemukan tunanetra telah melewati usia sekolah dan juga belum bersekolah, tunanetra tersebut harus dibantu mengikuti pendidikan kesetaraan.
Kita semua memahami betapa pentingnya berpendidikan. Dengan Pendidikan siapa pun dia, termasuk para penyandang disabilitas, akan lebih mudah mencapai keberhasilan dalam hidup mereka. Namun, situasi ego sektoral sebagaimana contoh peristiwa di atas telah menempatkan penyandang disabilitas pada posisi yang membuat mereka begitu sulit mengakses pendidikan. Penyandang disabilitas hanya ditempatkan sebagai “obyek pekerjaan” yang mendatangkan uang untuk lembaga pemerintah yang diberi tugas “memberdayakan mereka”.
Sebagai Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), saya berupaya melakukan sesuatu, untuk mengatasi persoalan.
Dalam sebuah rapat koordinasi program yang diadakan oleh Kementerian Sosial dan dihadiri oleh pengurus Pertuni daerah dari 10 propinsi, saya menyampaikan hal ini dalam diskusi, dan mengusulkan solusi dalam rekomendasi pertemuan, setelah sebelumnya mendapatkan informasi dari rekan-rekan pengurus Pertuni di daerah soal buruknya koordinasi antara dinas sosial dan dinas pendidikan dalam penanganan warga negara tunanetra.
Upaya lain, Dalam sebuah pertemuan koordinasi yang digagas oleh Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan dengan Direktorat Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial, saya menyampaikan fakta-fakta tersebut di atas. Dan respon Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas adalah, “para petugas di bawah sering kali hanya fokus pada tugas mereka sendiri saja”. Hanya itu, tanpa ide atau solusi apa pun.
Pemerintahan dibentuk untuk mengurus rakyat. Namun, adanya ego sektoral lembaga pemerintah dalam menjalankan tugas, yang hanya fokus pada tugas mereka sendiri, selalu merugikan rakyat. Begitu mahalkah koordinasi di negeri ini?
*Aria Indrawati.