“Saya ingin mengubah paradigma masyarakat, bahwa tak selamanya penyandang disabilitas itu harus disantuni dan dikasihani, tapi kita bisa berkolaborasi,” demikian, Fitri Nugrahaningrum menyampaikan pandangannya tentang penyandang disabilitas di Indonesia. Ketua DPD Pertuni NTB periode 2015-2020 ini percaya, bahwa hidup adalah soal kolaborasi–setiap manusia diciptakan untuk saling melengkapi. Kekurangan fisik tak akan berarti jika kita memiliki kelebihan yang bermanfaat untuk orang lain. Itulah sebabnya, ia aktif berkegiatan dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan bagi tunanetra, maupun masyarakat pada umumnya.
Fitri, terlahir dengan pengelihatan sempurna. Namun pada usia 12 tahun, ia terkena Sindrom Steven Johnson, membuat ia sering mengalami panas
tinggi dan harus berkali-kali dirawat di rumah sakit. Akibat penyakit tersebut, pada usia 14 tahun mulai ada gejala penurunan pengelihatan. Hingga ia pun menjadi tunanetra total ketika duduk di bangku kelas 3 SMA.
Saat kelas 6 SD, Fitri masih bisa membaca huruf awas dan membedakan warna. Ia tidak menyadari, tulisan tangannya di atas buku tulis sudah tampak naik-turun, tak lagi rapi seperti biasanya. Hal inilah yang kemudian membuat guru SD Fitri saat itu memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah. Jelas, Fitri terpukul dengan keputusan gurunya saat itu, namun Fitri dan keluarganya tak mampu berbuat apa-apa. “Waktu itu saya sedih. Kenapa saya harus dikeluarkan dari sekolah?” kenangnya.
Bukan hanya Fitri, keluarganya juga merasakan rasa sedih yang sama. Seperti kebanyakan mereka yang baru mengalami ketunanetraan, orang tua Fitri pun berusaha mencari kesembuhan bagi putrinya itu, baik secara medis maupun lewat berbagai pengobatan alternatif. Akan tetapi, hasil yang diharapkan tak kunjung diperoleh—Fitri tetaplah seorang tunanetra.
Penerimaan atas kondisi yang Tuhan berikan, acap kali membuka jalan keluar yang tak pernah kita duga. Ketidaksembuhan Fitri, membuat pihak keluarga akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan Fitri ke sebuah SLB di Solo, kota tempat tinggalnya saat itu. Siapa sangka, ia mampu melewati proses belajar di SLB dengan sangat cepat, dan kembali mengejar ketertinggalannya dalam berbagai mata pelajaran. Fitri mampu membaca dan menulis Braille hanya dalam waktu satu minggu, lantas melewati jenjang SD-LB hanya dalam dua tahun, begitupun SMP-LB yang juga hanya dua tahun.
Dengan ilmu, tunanetra juga mampu melihat dunia. Agaknya, filosofi inilah yang mengantarkan wanita kelahiran Tanjung Karang, 37 tahun lalu ini menjadi pribadi yang gemar belajar. Lihat saja, bagaimana ia mampu menyelesaikan studinya hingga jenjang S2 jurusan Pengembangan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret, Solo. Bukan hanya sempat menjadi asisten dosen, Fitri juga menjalani kegiatan perkualiahannya dengan aktif berorganisasi, hingga ia memiliki banyak teman dari berbagai jurusan dan fakultas yang berbeda. Tidak heran. Meski tunanetra, toh Fitri juga tumbuh menjadi pribadi yang supel dan percaya diri dalam pergaulan. “Mereka nggak pernah memandang saya sebagai tunanetra, bahkan kadang-kadang mereka lupa kalau saya ini tunanetra,” ujar Fitri sambal tertawa kecil.
Tahun 2009, Fitri menikah dengan Ahmad Zaki di Solo. Dua tahun kemudian, sang suami membawa Fitri pindah ke tanah kelahirannya di Lombok, NTB. Di sana ia mengikuti suaminya yang tengah mengembangkan usahanya sebagai eksportir peci. Tidak lama setelah hijrah, Fitri bersama sang suami mendirikan sebuah lembaga pembberdayaan bernama Samara Lombok. Samara berarti Satelit Masa depan Negara. Dengan moto “Cerdas, berkualitas, indah terkemas”, Samara Lombok memberikan pendidikan kepada anak-anak mulai PAUD hingga SMA. Untuk SD-SMA sudah ada 465 siswa, sedangkan PAUD 121 siswa. PAUD ini dikelola secara inklusi. “Inklusi itu bukan hanya ada guru tunanetra, tapi anak tunarungu, tunadaksa, disabilitas mental. Nah, itu bisa masuk sini,” jelas Fitri.
Tidak pernah ada yang sia-sia dari sebuah dedikasi dan kesungguhan. Setelah semua kegiatan pemberdayaan dan pendidikan yang Fitri jalani, ia cukup sering menerima berbagai penghargaan. Tahun 2013 Fitri memperoleh penghargaan dari She Can Award dan Kementrian Agama, tahun 2014 dari Kick Andy, dan yang terakhir tahun 2016 dari Liputan 6 Award. “Itu yang dapat penghargaan anak-anak, saya Cuma mewakili aja,” ungkapnya dengan logat jawa yang kental.
“Sesukses apapun kamu, jangan pernah lupa dengan teman-temanmu yang sependeritaan (tunanetra)”. Begitulah pesan yang pernah Fitri terima dari ayahnya. Pesan inilah yang menjadi motivasi Fitri untuk berkontribusi untuk tunanetra lewat Pertuni–meskipun ia sudah sangat aktif dengan kegiatan sosialnya bersama orang-orang nondisabilitas. Fitri sudah mengenal Pertuni sejak tahun 1996, yaitu saat duduk di bangku SMA. Waktu itu, ia sempat mengikuti beberapa kegiatan di Pertuni Solo, meski tidak terlalu aktif memberikan kontribusi. Pindah ke Lombok, Fitri dihubungi oleh seorang kawan tunanetra yang mengajaknya bergabung di Pertuni NTB. Teringat pesan sang ayah, ia pun segera menyambut positif ajakan kawan tunanetra tersebut untuk bergabung dengan Pertuni di NTB. Seperti saat di Pertuni Solo, Fitri tak terlalu aktif di Pertuni. Ia hanya sesekali ikut berbaur dengan teman-teman tunanetra—mengunjungi mereka ketika sedang ada kegiatan dan sekadar membawakan makanan—namun tidak terlibat aktif dalam kegiatan tersebut.
“Awalnya, saya mencalonkan diri hanya sebagai pesaing,” ungkap Fitri, memulai awal mula ceritanya mencalonkan diri sebagai Ketua DPD Pertuni NTB. Bbulan September 2015, diselenggarakan Musyawarah Daerah (Musda) Pertuni NTB, ada salah satu kandidat kuat yang dicalonkan sebagai ketua. Fitri sendiri sama sekali tak berpikir untuk benar-benar terpilih. Pasalnya, ia belum lama pindah ke NTB dan belum terlalu mengenal tunanetra di propinsi tersebut. Namun, siapa sangka bahwa dari 26 pemilih saat itu, ternyata 24 orang memilih Fitri—yang berarti Fitri telak mengalahkan kandidat kuat yang sebelumnya diyakini akan menang.
Terpilihnya Fitri sebagai Ketua DPD Pertuni NTB adalah sebuah amanah besar yang harus ia jalani selama lima tahun. Dengan banyaknya aktivitas yang ia lakukan setiap hari—mulai menjadi konsultan di beberapa lembaga, menjadi motivator di berbagai kota, hingga mengurus Samara Lombok—tambahan tugas sebagai Ketua DPD Pertuni NTB membuat Fitri sempat gentar—sanggupkah ia menggenggam amanah itu? Beruntung, Fitri memiliki Ahmad Zaki, sang suami yang selalu mendukungnya, serta meyakinkan dia untuk menjalani kepercayaan yang telah diberikan padanya. “Akhirnya ya sudah, saya ucap basmallah dan coba untuk menjalani”.
September 2015, Fitri resmi menjalani tugas barunya sebagai Ketua DPD Pertuni NTB periode 2015-2020. Sejak terpilih hingga saat ini, telah ada beberapa bentuk kegiatan yang berhasil terlaksana. Salah satu program utamanya, yaitu bergerak pada bidang pemberdayaan. Menyadari potensi NTB sebagai pulau wisata, pemberdayaan yang Fitri lakukan pun diarahkan pada sector ekonomi kreatif. Fitri mengadakan berbagai pelatihan kepada para tunanetra untuk pembuatan makanan kecil dan beberapa jenis kerajinan tangan seperti tas, gelang, kalung dan lain-lain. “Ini bisa dikerjakan sendiri oleh tunanetra tanpa perlu minta bantuan mata awas,” jelas Fitri.
Bukan hanya pembuatan makanan kecil dan kerajinan tangan, Fitri juga memberikan pelatihan refleksi dan lulur kepada anggota Pertuni di NTB. Menurut Fitri, saat ini pelanggannya sudah cukup banyak. Bukan hanya para turis yang membutuhkan pijat refleksi setelah letih berjalan-jalan, tetapi juga warga sekitar, seperti wanita karier yang membutuhkan perawatan lulur dan pijat fisasi. Tak hanya sekadar pelatihan, melalui DPD Pertuni NTB, Fitri pun menyalurkan para peserta pelatihan refleksi dan lulur tersebut agar dapat memanfaatkan keterampilannya. Untuk juru refleksi laki-laki disalurkan ke hotel-hotel, sedangkan yang perempuan dibuatkan ruangan praktik khusus di rumah kediaman Fitri yang saat ini juga difungsikan sebagai sekertariat DPD Pertuni NTB.
Dengan masih banyaknya pergolakan terhadap isu disabilitas di wilayah NTB, agaknya Fitri termasuk sosok yang tampil cukup berani dalam mengadvokasi hak-hak tunanetra. Sejumlah dialog telah Fitri lakukan demi mewujudkan kesetaraan bagi tunanetra NTB, seperti dialog dengan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, dan Dinas Ketenagakerjaan Propinsi NTB. Pernah suatu ketika, Dinas Ketenagakerjaan mengadakan Job Fair. Pada spanduk acara, tertera bahwa Job Fair terbuka pula untuk penyandang disabilitas, namun setelah ditelusuri tidak ada satupun stand yang membuka lowongan untuk penyandang disabilitas, khususnya tunanetra. Saat itu juga, Fitri langsung menemui Dirjen di Dinas Ketenagakerjaan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Job Fair tersebut dan menyampaikan ketidakpuasannya. “Jangan sampai penyandang disabilitas hanya ‘dijual’ namanya saja, tetapi harus benar-benar dilibatkan,” cerita Fitri, mengulang tuturannya kepada Dirjen Dinas Ketenagakerjaan yang ditemuinya.
Fitri mengakui, mengemban tugas sebagai Ketua DPD Pertuni NTB bukanlah hal mudah. Iia telah mengenyam pendidikan hingga jenjang S2, sementara pengurus DPD Pertuni NTB lainnya belum mencapai tingkat pendidikan yang sama—mengingat masih sangat sulitnya akses pendidikan tinggi bagi tunanetra di propinsi tersebut. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam membangun koordinasi antar pengurus. Meski demikian, Fitri tetap bertekad untuk menyelesaikan amanah yang telah dititipkan kepadanya sebagai Ketua DPD Pertuni NTB hingga tahun 2020 mendatang.
Dengan segala yang telah Fitri lakukan, ia pun menyimpan sejumlah harapan untuk tunanetra. Yang pertama, Fitri berharap agar dapat terciptanya kehidupan yang inklusi di NTB. Yang kedua, tunanetra akan menjadi masyarakat yang dimasyarakatkan. “Kita perlu membangun mindset yang benar di masyarakat, bahwa tunanetra itu bukan mahluk yang lemah, karena tunanetra dapat menjadi masyarakat yang kompeten dalam segala aspek kehidupan,” ujarnya, mantap.*
Humas DPP Pertuni