Bagaimana Orang Tunanetra Dapat Mengakses Komputer Dan Apa yang Dapat Dilakukan oleh Orang Tunanetra dengan Komputer
Didi Tarsidi
Sering kali, untuk dapat melakukan kegiatan kehidupannya sehari-hari secara mandiri, orang tunanetra harus menggunakan teknik alternatif, yaitu teknik yang memanfaatkan indera-indera lain untuk menggantikan fungsi indera penglihatan dalam kegiatan kehidupannya sehari-hari sehingga pola kehidupan kesehariannya pun sangat berubah dan dalam banyak hal menjadi berbeda dari orang pada umumnya. Oleh karena itu, Jernigan (1994) merumuskan definisi ketunanetraan sebagai berikut: “An individual may properly be said to be “blind” or a “blind person” when he has to devise so many alternative techniques – that is, if he is to function efficiently – that his pattern of daily living is substantially altered.”
Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian, menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut.
Indera pendengaran dan perabaan merupakan saluran penerima informasi yang paling efisien sesudah indera penglihatan. Oleh karena itu, teknik alternative itu pada umumnya memanfaatkan indera pendengaran dan/atau perabaan. Sejalan dengan hal ini, untuk memungkinkan orang tunanetra mengakses computer, teknik alternative yang telah dikembangkan adalah yang memanfaatkan speech technology dan refreshable Braille display.
Refreshable Braille display device mengkonversi teks menjadi karakter Braille yang dapat dibaca dengan perabaan pada bagian display-nya. Hardware device ini dihubungkan ke CPU untuk menerima data teks dan berfungsi sebagai monitor. Mungkin karena pertimbangan harga, sejauh ini Braille display hanya diproduksi untuk menayangkan satu baris karakter Braille, yang bervariasi dari 18 hingga 80 karakter perbaris. Informasi yang dapat kita lihat pada layar monitor akan ditampilkan pada Braile display ini baris demi baris secara suksesif. Kecepatan seorang tunanetra membaca layar monitor menggunakan Braille display ini terkait erat dengan keterampilanya membaca Braille. Hasil penelitian Simon & Huertas (1998) menunjukkan bahwa kecepatan membaca rata-rata tunanetra pembaca Braille yang berpengalaman adalah 90-115 kata per menit dibandingkan dengan 250‑300 kata per menit untuk mereka yang membaca secara visual. Akan tetapi, hambatan terbesar bagi kebanyakan orang tunanetra untuk memiliki alat ini adalah harganya yang masih sangat mahal (di atas $2000).
Speech technology memungkinkan pengguna computer tunanetra mengakses tayangan pada layer monitor dengan pendengaran. Speech reading software terintegrasi ke dalam operating system dan dapat mengakses hampir semua program aplikasi. Suaranya diproduksi melalui sound card yang tersedia, dengan kualitas mirip suara manusia yang sesungguhnya. Speech screen reading software ini terdiri dari dua komponen utama yaitu speech synthesizer yang mengkonversi teks ke dalam suara dan screen reader yang memungkinkan pengguna computer menavigasi layer sesuai dengan kebutuhannya (misalnya membaca perkalimat atau perkata, membaca document control, menu dll.). Kini terdapat banyak speech screen reading software yang beredar di pasar internasional (misalnya JAWS, WindowEyes, Keynote) yang dirancang untuk berbagai macam bahasa. Yang paling banyak dipergunakan di Indonesia adalah JAWS produksi Freedom Scientific. Dua keuntungan utama dari teknologi ini dibandingkan Braille display adalah (1) pengguna komputer akan dapat sepenuhnya memanfaatkan kedua belah tangannya untuk mengoperasikan keyboard (tidak harus menggunakan tanganya untuk membaca), dan (2) harganya jauh lebih murah. Di samping itu, kecepatan screen reader dalam membaca layar pun dapat diatur sesuai dengan kesukaan, begitu pula pitch dan jenis suaranya. Ini berarti bahwa seorang tunanetra dapat membaca layar monitor secepat mungkin sesuai dengan kemampuan pendengaranya menangkap makna suara speech synthesizer itu dan dapat memilih suara pembaca yang lebih disukainya.
Untuk memproduksi hard copy dalam format Braille, telah dikembangkan dan diproduksi printer Braille (juga disebut Braile embosser) yang dioperasikan dengan Braille translation software yang menerjemahkan data dari tulisan biasa ke dalam format Braille. Pembuatan Braille translation software yang dirancang khusus untuk mengakomodasi sistem Braille Indonesia telah berhasil dilakukan oleh Yayasan Mitra Netra bekerjasama dengan Universitas Bina Nusantara, Jakarta. Software yang diberi nama MBC IV ini dapat dipergunakan untuk mengoperasikan berbagai Braille embosser yang tersedia di pasar internasional.
Dengan bantuan teknologi akses di atas, dengan tambahan scanner, orang tunanetra memiliki akses ke buku atau bahan bacaan lainya yang bertulisan biasa setelah melalui proses scanning. Hal ini memungkinkan orang tunanetra membaca buku-buku biasa secara mandiri.
Untuk membantu mempermudah orang tunanetra membaca buku biasa, telah dikembangkan pula reading machine yang dirancang khusus untuk membantu tunanetra membaca print. Alat ini memadukan processor, scanner dan speech synthesizer dalam satu hardware yang kompak.
Di pihak lain, untuk mempermudah orang tunanetra dalam memasukkan dan menyimpan data, telah dikembangkan pula Braille notetaker, yaitu komputer kecil (beratnya sekitar 1 kg) yang memungkinkan orang tunanetra menulis dengan braille dan mendapatkan output dalam bentuk suara dan/atau braille. Alat ini dilengkapi dengan Braille display dan Braille keyboard serta speech synthesizer dalam satu hardware yang kompak.
Dengan teknologi akses tersebut orang tunanetra dapat melakukan berbagai hal sebagaimana para pengguna komputer pada umumnya seperti word processing, accounting, music composing, Internet browsing, programming, dll. Hal ini memungkinkan orang tunanetra melakukan berbagai macam pekerjaan yang secara tradisional harus dilakukan mengunakan penglihatan. Jadi, bagi orang tunanetra, computer bukan sekedar alat Bantu kerja tetapi merupakan alat akses ke “dunia awas”.
Salah satu masalah yang masih dihadapi kebanyakan orang tunanetra di Indonesia adalah masih mahalnya harga teknologi akses itu. screen reader yang populer seperti JAWS produk Freedom Scientific, misalnya, dijual dengan harga di atas 800 USD. Di samping itu, belum ada screen reader dengan TTS bahasa Indonesia. Akan tetapi sesungguhnya jalan kea arah itu sudah sangat dekat ketika Dr. Arry Arman dari ITB menciptakan Indo-TTS, satu komponen penting dari screen reader software. Oleh karena itu, penelitian dan kerjasama lebih lanjut perlu digalakkan untuk menciptakan screen reader berbahasa Indonesia dengan harga yang lebih sesuai dengan status ekonomi domestik demi mempermudah akses para tunanetra Indonesia ke komputer – dan akhirnya ke “dunia awas”.
Sumber Informasi Lebih Lanjut
Untuk informasi lebih lanjut mengenai teknologi akses bagi tunanetra dapat dikunjungi antara lain situs-situs berikut ini:
American Foundation for the Blind: www.afb.org
Braillo Norway: www.braillo.com
Enabling Technologies: www.brailler.com
Freedom Scientific: www.freedomscientific.com
GW Micro: www.gwmicro.com
Kurzweil Educational Systems: www.kurzweiltech.com
National Federation of the Blind: www.nfb.org
Telesensory: www.telesensory.com
Yayasan Mitra Netra: www.mitranetra.or.id
Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind.
Simon, C. & Huertas, J. A. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather Information Written in Braille. Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, pp.322-330. American Foundation for the Blind.