Dewasa ini, interaksi dengan bank telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Selain sebagai tempat penyimpanan uang yang aman, bank kini juga menjadi tempat membayar atau menerima gaji karyawan, pembayaran uang kuliah, pembayaran berbagai tagihan perbelanjaan, pembayaran ongkos naik haji, mengurus kredit pemilikan rumah dan berbagai kredit usaha lainnya. Sayangnya, segala kemudahan dan kemajuan layanan bank tersebut belum dapat diakses oleh warga negara penyandang tunanetra. Bahkan, masih banyak bank-bank di Indonesia yang menolak tunanetra menjadi nasabah.
Menurut ketua Umum DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), Aria Indrawati, diskriminasi terhadap penyandang tunanetra sudah sering terjadi. Ia membeberkan beberapa kasus yang pernah menimpa kalangan tuna netra. Diantaranya, kasus penolakan Bank BTN terhadap pengajuan KPR oleh tuna netra pada tahun 2005 karena dianggap tak mampu membayar angsuran. Selain itu, ada pula kasus Bank Mandiri cabang lebak Bulus yang menolak nasabah tunanetra karena dianggap tidak dapat membuat tandatangan atau tidak dapat membuat tandatangan secara konsisten pada 2011.
Kondisi tidak ramahnya bank pada tunanetra ini telah berdampak terganggunya kegiatan tunanetra saat mereka harus berinteraksi dengan bank guna mendukung aktivitas kehidupan lainnya, termasuk saat belajar, bekerja, bertransaksi, beribadah, dan lain-lain. Mencermati kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut, DPP Pertuni sebagai organisasi kemasyarakatan tunanetra tingkat nasional memandang perlu untuk melakukan langkah advokasi, agar layanan perbankan di Indonesia dapat memberikan layanan perbankan yang inklusif terhadap tunanetra. Maka, DPP Pertuni pun berinisiatif menyelenggarakan sebuah kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan tema “Sistem dan Layanan Bank yang Ramah bagi Tunanetra”. FGD diselenggarakan pada hari Rabu, 14 September 2016 jam 09:00-13:00 WIB di Hotel Royal Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan.
FGD akan dihadiri oleh empat kelompok, seperti pengurus Pertuni, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pihak pengamat perbankan dan jurnalis, serta tentu saja sejumlah bank nasional dan swasta, seperti Bank Mandiri, BRI, Standard Chartered Bank, Bank CIMB Niaga, dan lain-lain. Lewat diskusi ini, peserta akan diajak untuk mendiskusikan realita layanan perbankan Indonesia yang belum ramah pada tunanetra. Selanjutnya, diharapkan peserta dapat menemukan dan menyepakati solusi untuk mengatasi situasi diskriminatif tersebut, hingga dapat membangun sistem layanan perbankan Indonesia yang ramah untuk semua, termasuk bagi nasabah tunanetra.
Aria berharap agar FGD ini dapat memberikan dampak positif bagi para tunanetra, khususnya dalam bidang perbankan, yakni berupa kemudahan para tunanetra mengakses layanan bank. Otoritas Jasa keuangan diharapkan memayungi dengan kebijakan, memastikan semua tunanetra dapat diterima sebagai nasabah bank sebagaimana warga masyarakat yang bukan tunanetra. Kebijakan ini harus disosialisasikan ke semua bank di seluruh Indonesia. Selanjutnya, bank di seluruh Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta, diwajibkan melaksanakan kebijakan OJK tersebut. Sudah saatnya bank memperhitungkan keberadaan penyandang tunanetra sebagai nasabah potensial.
Jumlah tunanetra di Indonesia tidak sedikit. Ada kurang lebih 3.750.000 tunanetra. Ini adalah pasar potensial bagi bank-bank di Indonesia. “Tunanetra adalah konsumen yang loyal. Jika bank itu ramah pada tunanetra, saya yakin, tunanetra akan berbondong-bondong mendatangi bank tersebut, dan menjadi nasabah. Akhirnya, bank itu sendirilah yang akan memetik keuntungan dari hadirnya nasabah tunanetra”, jelas Ketua Umum Pertuni.
Sebagaimana warga negara pada umumnya, memperoleh akses yang baik ke layanan bank juga merupakan hak warga negara penyandang tunanetra. Oleh karenanya, sistem layanan bank harus dirancang agar dapat mengakomodir kebutuhan khusus nasabah tunanetra. “Melalui FGD ini, Pertuni berharap akan ada tindak lanjut berupa langkah-langkah yang lebih kongkrit, sehingga di waktu mendatang, Pertuni tidak lagi menerima laporan dari penyandang tunanetra yang ditolak menjadi nasabah Bank,” jelas Aria.*