Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan orang-orang pada umumnya. Mereka memiliki impian, harapan, dan keinginan yang sama; memiliki minat dan kemampuan; serta sebagai ciptaan yang tidak sempurna seperti yang lain –sehingga juga perlu dukungan, kepercayaan, dan kesempatan dari lingkungan dan masyarakat di mana ia tinggal. Hal inilah yang menjadi keyakinan Lindawati Kwa, wanita tunanetra asal Medan, Sumatera Utara. Dengan keyakinan itulah, ia terus menjalani hidupnya sebagai tunanetra dengan pandangan yang positif serta semangat berbagi kepada sesama.
Linda, demikian wanita kelahiran Medan, 19 Desember 1984 ini biasa disapa. Ia mengalami ketunanetraan sejak lahir akibat suatu kelainan pada bola mata yang dialaminya—Anopthalmus. Ini adalah suatu kondisi di mana seseorang memiliki bola mata tanpa organ mata. Meski demikian, Linda tampak tak terbebani dengan keterbatasan pengelihatannya. Ketika ditanya, bagaimana perasaannya saat mengetahui fakta bahwa dirinya adalah seorang tunanetra, ia pun menjawab dengan nada santai, “Karena saya tunanetra sejak lahir, jadi biasa saja,”
Dukungan keluarga dan lingkungan agaknya menjadi salah satu factor ketangguhan Linda. Anak kedua dari empat bersaudara itu menyatakan, bahwa orang tuanya tak pernah membedakan ia dengan saudara-saudaranya. Saat SMA, ia disekolahkan di sekolah integrasi—bersama anak-anak nontunanetra. Bisa jadi, hal ini yang membuatnya terbiasa berbaur dengan teman-temannya yang nondisabilitas dan lambat laun membuatnya semakin percaya diri dengan ketunanetraan yang dialaminya. “Mereka sangat mendukung semua kegiatan terlebih yang berhubungan dengan pendidikan dan pekerjaan,” katanya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa diskriminasi masih kerap dialami oleh penyandang disabilitas di Indonesia—tak terkecuali Linda. Dalam lingkungan universitas misalnya, Linda yang hendak mendaftar ke Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Medan, sempat hampir ditolak untuk mengikuti tes seleksi penerimaan mahasiswa. Kurangnya pemahaman tentang hak-hak penyandang disabilitas, membuat pihak kampus saat itu berasumsi bahwa kegiatan perkuliahan akan membebani penyandang disabilitas seperti Linda. Dalam pergaulan pun, ia acap kali dianggap ‘tidak mampu’ dan ‘dikasihani’. Meski demikian, Linda tak larut dalam kemarahan ataupun rasa frustasi. Ia mencoba memandang kejadian-kejadian tak menyenangkan tersebut dari sudut pandang yang positif. Dari sanalah ia kemudian mulai dapat menjelaskan kedudukannya sebagai penyandang disabilitas.
Linda, merupakan salah satu pengurus Pertuni yang dikenal aktif berkontribusi, baik dalam keterwakilannya dalam berbagai kegiatan disabilitas, maupun mengadakan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat di dalam ruang lingkup kepengurusan Pertuni. Pertama kali, Linda mengetahui tentang Pertuni ketika masih di bangku sekolah dasar, melalui cerita para guru di sekolahnya. Namun, Linda baru mulai bergabung tahun 2009. Pada periode kepengurusan 2015 – 2020 ini, Linda diberi kepercayaan sebagai sekretaris daerah dengan tugas menyusun laporan semester dan tahunan, mengelola arsip dan dokumentasi, mengatur rapat-rapat, dan mengelola protokoler organisasi sebagaimana diamanatkan dalam AD/ART Pertuni.
Hingga saat ini, cukup banyak ragam aktivitas yang sempat diikutinya sebagai perwakilan DPD Pertuni Sumut. Selain ICT Training for the Blind di Malaysia dan Australia Award-Short Term Corse di Australia, ia juga pernah mengikuti kegiatan workshop di Komnas Perempuan tahun 2012 dan DPO Windows yang diselenggarakan World Bank tahun 2012. Selain itu, di Sumatera Utara mengikuti seminar dan workshop perolehan identitas hukum yang diselenggarakan oleh PUSKAPA UI tahun 2014, dan seminar pencanangan sekolah inklusi yang diselenggarakan oleh kementerian Pendidikan dan kebudayaan RI tahun 2015.
Beruntung, keluarga Linda sangat mendukung segudang aktivitas Linda tersebut. Mereka memberikan keleluasaan waktu untuk mengikuti berbagai kegiatan keorganisasian di Pertuni. Selain itu, mereka juga meminjamkan rumah keluarga untuk dipakai sebagai tempat layanan bagi anak-anak MDVI (Multi Disability Visually Impaired). Tidak hanya itu. Ibunda Linda pun sering datang melihat-lihat dan berinteraksi langsung dengan anak-anak tersebut.
Keberanian dan kepercayaan diri yang meningkat, wawasan dan pengalaman yang lebih luas, tumbuh menjadi pribadi yang bahagia. Itulah berbagai manfaat yang Linda peroleh sejak bergabung dengan Pertuni. Linda mengakui, bahwa melalui Pertuni dirinya semakin didorong menjadi kreatif dan bermanfaat bagi sesama tunanetra.
Lewat semua pengalaman dan pengetahuan yang telah Linda peroleh baik di dalam maupun di luar negeri, linda ingin memberikan kontribusi positif untuk tunanetra di Sumut. Linda menyatakan, bahwa dirinya ingin berbagi wawasan dan semangat melalui pembentukan komunitas, kegiatan sharing dan diskusi, serta mempromosikan teman-teman lainnya untuk dapat mengikuti pelatihan yang sama. Linda percaya, bahwa jika kita berjalan bersama maka akan semakin banyak tunanetra yang dapat terbantu. Dengan fakta bahwa masih banyak diskriminasi terjadi di Indonesia, Linda pun menyampaikan sebuah pesan untuk para tunanetra. “Pandanglah ke depan. Coba berpikir positif, supaya apa yang dikatakan dan diperbuat pun menjadi positif, sehingga mendapat tanggapan positif pula dari lingkungan dan masyarakat,” pangkasnya.*
Humas DPP Pertuni