Berdasarkan hasil seleksi nasional Onkyo Braille 2016, terdapat 5 Karangan terbaik yang lolos ke seleksi tingkat Asia Pasifik. Salah satunya, yaitu hasil karya Merylin Lievani dari Medan.
Belajar Menjadi Tunanetra
Setiap manusia pastilah ingin melahirkan dan dilahirkan dengan kondisi fisik yang sempurna, tidak terkecuali saya.Namun, apabila kita sudah terlahir dengan kondisi fisik yang kurang sempurna apakah dunia ini akan berakhir? Bagi sebagian orang, mungkin hal ini terasa berat, memalukan, atau mungkin menyedihkan. Namun, satu keyakinan saya menjadi seorang Tunanetra bukanlah suatu hambatan melainkan suatu tantangan yang mmembentuk saya menjadi pribadi yang tangguh dan kuat dalam menghadapi kehidupan dan memperoleh masa depan yang lebih baik. karena melalui ketunanetraan ini saya banyak belajar dan sering tidak disadari keadaan ini membuat saya lebih kreatif dan cerdas.Terdorong dari keinginan dan impian saya untuk dapat berjalan seiring dengan teman-teman yang dapat melihat, saya selalu ingat untuk segera bangkit di saat-saat terjatuh.
Sebelum melanjutkan esai ini izinkan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.Nama saya Marilyn, terlahir sebagai tunanetra (Low Vision) tahun 1993. Pada waktu itu ketunanetraan masih menjadi sesuatu yang sulit untuk di tangani bagi banyak dokter mata di kota saya. Terlebih untuk kasus katarak kongenital yang saya alami. Selain itu terbatasnya sumber informasi dan pengetahuan masyarakat membuat saya terlambat mendapatkan penanganan yang tepat bahkan saya baru mengetahui keadaan yang sesungguhnya pada usia ke-20.
Sungguh suatu kenyataan yang tidak mudah saya terima pada awalnya. Sejak saya kecil banyak hal yang dapat dilihat, dikerjakan, dan saya pikir semua orang melihat dengan cara yang sama. Mulai dari bersepeda, memanjat pohon, berlari, menggunakan pisau, dan bermain basket pun masih mampu saya lakukan. Dari segi prestasi belajar pun saya tidak tertinggal dari teman sekelas. Bahkan di bangku SMA saya memenangkan beberapa kompetisi dan termasuk siswa dengan peringkat 10 besar. Tidak hanya itu, prestasi tersebut juga mengantarkan saya menjadi seorang motivator tingkat nasional pada usia saya yang ke-16. Di perguruan tinggi pun saya dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas, aktif, dan mudah bergaul.
Inilah sebuah kenyataan yang siapapun tidak bisa menghindarinya. Diusia ke-16 selain mendapatkan prestasi saya juga mendapatkan kecelakaan lalulintas yang semakin membatasi ruang geraksaya. Kecelakaan tersebut membuat saya harus tinggal di rumah berbulan-bulan, melepaskan hobi bermain basket, berhenti dari paduan suara, dan saya pikir segala impian sudah berakhir. Hingga saatnya dokter ortopedi yang menangani saya, menyadari keanehan pada mata saya dan merekomendasikan seorang dokter mata lulusan India yang memiliki teknologi dan fasilitas terlengkap saat itu. Tak disangka tak diduga, dari dokter mata inilah saya mengetahui kenyataan bahwa mata kanan sayatidak dapat berfungsi, dan tak dapat disembuhkan lagi. Bertahun-tahun saya berusaha bangkit dan melupakan semuanya. Ketika berhasil keluar dari semua keterpurukan ini, kembali kekecewaan harus saya terima. Berawal dari nilai ujian tengah semester yang buruk pada salah satu mata kuliah.Saya mulai mencari informasi kesana kemari tentang cara menulis dengan baik dan benar, hingga akhirnya saya bertemu dengan seorang teman yang memberitahu bahwa ada teknologi komputer bicara. Ia berkata “rin sekarang komputer sudah bisa bicara. Seperti yang saya pakai saat ini. Kebetulan di Pertuni sedang ada pelatihan. Kamu mau ikut?”
Bergerak dari rasa penasaran dan keingintahuan yang besar, saya mencoba datang ke pelatihan tersebut. Sungguh sangat mengejutkan, di sana semua orang menggunakan komputer dengan cara yang berbeda, bergerak seperti zombie, meraba segala hal yang ingin mereka ketahui, membaca dan menulis huruf yang tidak terlihat oleh mata saya. Mulai dari sanalah tumbuh empati untuk membantu mereka. Saya mencoba membangun komunikasi dan bergaul lebih dekat dengan mereka. saya mendapatkan informasi tentang kehidupan tunanetra yang membuat saya makin yakin bahwa saya termasuk di antara mereka. mulai dari tangga yang selalu terlihat rata, tersandung batu saat berjalan, bola mata yang selalu bergerak, dan kesulitan membaca di papan tulis. Itu menjadi lembaran baru kehidupan dimana saya mulai belajar menerima diri sebagai tunanetra dengan komputer bicara, tongkat putih, huruf braille, hingga alat bantu low vision.
Ini merupakan proses yang tidak mudah. Berkali-kali saya terjatuh dan mencoba kembali bangkit. Perubahan sikap teman sekampus yang menganggap saya pura-pura buta dan berlebihan mengakibatkan guncangan psikologis dalam diri saya. Satu-persatu ketakutan muncul di benak saya. Dikucilkan, Kesepian, kesedihan, dan diusir dari rumah. Saya sangat takut semua akan terjadi saat keluarga menyadari semua kenyataan ini. karena ketakutan tersebut saya mencoba menyembunyikan semuanya dengan “menolak” semua saran dari teman di Pertuni walaupun saya sadar semua itu lebih baik jika dilakukan.
Dapatkah anda bayangkan betapa sulitnya kondisi saya saat itu? ketika pengetahuan menghasilkan ketakutan dan keberanian terhalang pandangan negatif dari masyarakat. hal itu menjadi pilihan yang sulit bagi saya. Lagi-lagi impian untukberjalan seiring dengan orang lain mengusik batin saya dan Sang Pencipta pun seolah-olah mendukung dengan memberikan pengalaman yang menempah saya menjadi pribadi yang lebih kuat.
Pernah suatu ketika saya terjebak dalam lift. Karena ruangan yang gelap saya terpaksa membaca huruf braille yang terdapat di tombol-tombolnya. Sungguh menakjubkan dengan tuntunan enam titik braille saya pun berhasil sampai ke tempat tujuan. Selain itu rasa malu menggunakan tongkat putih pun perlahan memudar. Karenanya saya dapat menghindari lubang di jalan, terselamatkan dari lalulintas yang padat saat menyebrang, lebih mudah dikenali, dan tidak terjatuh dari tangga. Kehadiran alat bantu low vision (dome dan teleskop) juga tidak kalah pentingnya dalam kehidupan saya. Dengan menggunakan alat tersebut saya dapat melihat dunia melalui buku dan pemandangan alam sekitar.
Dari semua pengalaman ini, saya semakin yakin bahwa penerimaan diri merupakan kekuatan terbesar yang mengubahkan segalanya.Karena kondisi berbeda bukanlah suatu halangan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Dengan tidak malu meraba sesuatu yang ingin dilihat atau sekedar meminta bantuan menyebrang jalan, membuat saya merasa lebih berarti. Selain itu,banyaknya hal baru yang mengisi keseharian saya,Sepertimenjadi pembimbing bagi anak MDVI, berpartisipasi dalam kegiatan keorganisasian, menjadi ketua unit layanan Low Vision, menjalani pelatihan komputer bicara internasional (teruko Ikeda ICT Training), dan mengikuti lomba mengarang essay di hari ulangtahun Pertuni merupakan pengalaman baru yang menyenangkan. Sekarang saya menyadari bahwa menjadi tunanetra bukan berarti dunia akan berakhir. tapi justru hal tersebut merupakan bagian dari kehidupan yang harus disyukuri. Saya berharap suatu ketika akan ada lebih banyak orang yang dapat memandang ketunanetraan dari sisi positif. Seperti ketika orang memandang bunga raflesia dari keindahan bentuknya bukan dari aroma busuk yang dihasilkannya.