Bberdasarkan hasil Sseleksi Nasional Onkyo Braille 2016, terdapat 5 karangan terbaik yang lolos ke seleksi tingkat Asia Pasifik, salah satunya, yaitu karya Tutus Setiawan dari Surabaya.
Bintang Kehidupan
Menjadi pembuka jalan kebaikan bagi orang lain tentu bukanlah hal yang mudah dilakukan, terlebih bagi seorang penyandang disabilitas netra. Terganggunya fungsi penglihatan yang dialami seorang tunanetra merupakan penghambat dirinya untuk dapat berpartisipasi aktif di dalam masyarakat. Jangankan membantu sesama, membantu dirinya sendiri lepas dari ketergantungan terhadap orang lain saja sulit dilakukan. Itulah anggapan masyarakat terhadap keberadaan disabilitas netra waktu itu. Anggapan semacam itu yang makin menyudutkan keberadaan tunanetra hidup di tengah masyarakat.
Sebagai penyandang disabilitas netra, aku merasa tertantang untuk merubah paradikma negative dari masyarakat terhadaap sesama kaumku. Tekad kuat untuk mengentaskan kaum tunanetra dari lembah keterpurukkan membulatkan semangatku untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Karena aku beranggapan, dengan ilmu yang cukup aku bisa mewujudkan tekadku tersebut.
Pada awal tahun 2000-an kondisi penyandang tunanetra dapat dikatakan terpuruk. Sebagai kota terbesar kedua di Negara Indonesia, keberadaan tunanetra di Surabaya sangat tertinggal bila dibandingkan dengan kota-kota lain. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya hambatan bagi penyandang tunanetra untuk mengenyam pendidikan di sekolah regular, sulitnya memperoleh pekerjaan yang diinginkan, tidak adanya fasilitas public yang akses, tidak adanya template Braille ketika pemilihan umum, sikap masyarakat yang menganggap individu tunanetra sebagai objek yang patut dikasihani, dan masih banyak lagi perlakuan diskriminasi lain yang dialami kaumku. Diskriminasi tersebut merupakan penghalang bagi kaum tunanetra untuk dapat hidup layak dan sejahterah di lingkungan masyarakat.
Fenomena demikian yang pada akhirnya menggugah hati nuraniku untuk memulai perjuangan melawan diskriminasi tersebut. Pada Akhir tahun 2003 aku mengajak beberapa teman tunanetra yang sefisi denganku untuk membentuk sebuah LSM yang bernama lembaga pemberdayaan tunanetra yang dapat digunakan sebagai sarana memperjuangkan nasib kaum tunanetra di kota Surabaya. Saat itu usiaku 23 tahun, dan aku tengah menjalani semester terakhir dari strata 1 yang kutempuh. Kondisi tersebut yang kumanfaatkan dengan merekrut teman-teman mahasiswa sebagai voluntir di lembaga yang kudirikan.
Gebrakan awal yang kulakukan bersama LPT (Lembaga Pemberdayaan Tunanetra) adalah aksi damai dengan menyebarkan bunga dan brosur yang berisi tentang penjelasan potensi yang dimiliki oleh penyandang tunanetra. Selogan yang kami usung pada aksi damai tersebut adalah “Beri kami kesempatan. Jangan hanya beri kami belas kasihan.” Kegiatan yang mengambil momen peringatan hari Braille internasional pada tanggal 4 Januari 2004 ini dilakukan di lima titik pusat keramaian di kota Surabaya. Tujuan dari kegiatan ini untuk memberikan wawasan kepada masyarakat awam tentang keberadaan dan potensi yang dimiliki tunanetra.
Selain itu kami menyelenggarakan berbagai workshop dan seminar yang berkaitan dengan pendidikan yang akses bagi penyandang disabilitas. Berbagai perwakilan sekolah regular yang ada di kota Surabaya kami undang. Kegiatan ini bertujuan agar sekolah regular tidak melakukan penolakan bila ada tunanetra yang ingin bersekolah di tempatnya.
Di samping kampanye ke luar, aku beranggapan bahwa perlu adanya peningkatan skill dari kaum tunanetra agar siap bersaing dalam dunia kerja dan pendidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut, aku bekerjasama dengan instansi pemerintah maupun suasta. Berbagai pelatihan kuselenggarakan, seperti: jurnalistik, operator telepon, presenter. Pelatihan-pelatihan tersebut diselenggarakan untuk memupus anggapan orang bahwa dunia kerja bagi tunanetra tidak hanya terbatas sebagai juru pijat, pemusik, dan guru.
Dan tidak ketinggalan, untuk mendukung tunanetra dalam hal pendidikan, LPT menyelenggarakan pelatihan computer bicara, pelatihan orientasi mobilitas, bimbingan belajar, dan menyediakan perpustakaan audio. Fasilitas tersebut kuperuntukkan bagi siswa tunanetra yang masih bersekolah, baik di sekolah luar biasa maupun di sekolah inklusi. Program-program tersebut kami selenggarakan secara regular hingga sekarang ini. Keluarga dan orang tua dari penyandang tunanetra juga tidak luput dari perhatianku. Pembelajaran Braille dan orientasi mobilitas kuajarkan pula pada mereka. Kegiatan ini kumaksudkan agar mereka bisa mendampingi keluarganya yang menyandang tunanetra bila berada di lingkungan rumah.
Program advokasi juga menjadi prioritasku bersama LPT. Beberapa kasus diskriminasi seperti siswa tunanetra yang ditolak masuk ke sekolah regular dan tunanetra yang ditolak untuk membuka rekening dan ATM di bank berhasil kami bantu. Bahkan pada tahun 2010 dan 2011 komisi pemilihan umum kota Surabaya dan Tuban mempercayakan kepada kami mendesain template Braille untuk pemilihan kepala daerah. Tidak ketinggalan, berbagai peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan disabilitas juga kami advokasi. LPT berjejaring dengan organisasi disabilitas lain juga berjuang di tingkat local, seperti turut mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi CRPD dan mengesahkan UU disabilitas. Dan hasilnya, pada bulan Meret 2016 pemerintah Indonesia telah mengesahkan undang-undang no 8 tahun 2016 tentang disabilitas.
Aku tak pernah mengharapkan imbalan apapun dari kegiatan yang kulakukan. Namun pada bulan Oktober 2015 bertepatan dengan momen hari Sumpah Pemuda , secara tak terduga aku mendapat penghargaan Satu Indonesia Award dari Astra Internasional dalam bidang pendidikan. Penghargaan bertaraf nasional ini diberikan kepada para pemuda yang dianggap telah mampu membawa dampak positif bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Penghargaan dari walikota Surabaya sebagai lembaga yang inofatif dalam menyelenggarakan pelatihan juga pernah kudapatkan bersama LPT.
Di tengah-tengah kesibukanku dalam berorganisasi aku juga berjuang memperoleh pekerjaan yang layak. Dan cita-citaku menjadi guru terrealisasi pada tahun 2005. Bahkan pada tahun 2008 aku diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Selain itu pada tahun 2013 aku mendapat beasiswa S2 dari pemerintah, dan berhasil meraih gelar magister pendidikan pada tahun 2015. Semua hal positif tersebut kuraih dengan kerja keras dan semangat pantang menyerah.
Sebelumnya aku tidak pernah menyangka, dengan kondisi tunanetra segala cita-cita yang kuimpikan sejak kecil bisa terwujud. Ketunanetraan yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai suatu kelemahan, justru kujadikan amunisi untuk dapat berbuat positif bagi kehidupan ini. Jadi ketunanetraan bukanlah alas an untuk kita tidak bisa menjadi orang yang bermakna bagi sesama. Aku yakin bahwa ketunanetraan yang kualami bukanlah wujud keterbatasan yang diciptakan Tuhan untuk membelenggu asaku. Ketunanetraan bukan pula bentuk kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diriku. Justru aku menganggap ketunanetraan merupakan anugerah yang diberikan Tuhan agar aku dapat meraih sukses dengan cara yang berbeda.
Kini aku mampu menjawab keraguan masyarakat terhadap potensi yang dimiliki penyandang tunanetra. Pandangan meremehkan dan suara sumbang yang sering kudengar ketika aku pertama kali mengalami ketunanetraan kini berubah menjadi sanjungan. Namun aku tak besar kepala dengan perubahan itu. Yang terpenting dalam hidupku sekarang aku mampu menjadi bintang kehidupan yang dapat memberi terang dalam kegelapan masa depan kaum tunanetra.