Berdasarkan hasil Seleksi Nasional Onkyo Braille 2016, terdapat 5 karangan yang lolos ke Seleksi tingkat Asia Pasifik, salah satunya karya Deasy Junaedi dari Jakarta.
Masih Ada Kesempatan
Beginilah kisahku sebagai tunanetra dalam mengarungi dunia kerja. Kisah ini berawal pada tahun 2003. Saat itu usiaku 27 tahun dan sudah 3 tahun aku bekerja sebagai sekretaris direktur akademik di sebuah sekolah nasional plus di kawasan Serpong, Tangerang. Selain mengerjakan administrasi rutin, aku juga mendapat tugas tambahan sebagai juru ketik dalam proyek pembuatan Lembar Kerja Siswa Sekolah Dasar (LKS SD). sehingga aku harus bekerja lebih lama di depan layar komputer.
Suatu hari di bulan April, tiba-tiba penglihatanku berkabut dan ada bintik-bintik hitam melayang-layang di mata kiriku. Kupikir aku kelelahan, jadi aku hanya mengompres mataku dengan handuk dingin. Seminggu kemudian kabut dan bintik-bintik hitam itu tak kunjung hilang. Aku panik dan memutuskan untuk memeriksakan mataku ke dokter spesialis retina. Dari hasil pemeriksaan, dokter memvonis mataku terkena Retinitis Pigmentosa (RP). Lebih lanjut dokter menjelaskan bahwa RP adalah suatu penyakit mata keturunan yang tidak bisa disembuhkan. Si penderita akan mengalami penurunan penglihatan secara bertahap hingga mengakibatkan kebutaan. Faktor stres dan penggunaan komputer juga memicu penurunan penglihatanku.
Mendengar vonis dokter, aku syok dan tidak mau menerimanya begitu saja. Kuperiksakan mataku ke beberapa dokter mata lainnya dan kucoba berbagai pengobatan alternative. Namun nihil. Semua dokter mengatakan hal yang sama, aku terkena RP. Apakah ini artinya, aku akan jadi tunanetra? Aku sangat takut. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Aku harus memilih antara pekerjaanku atau penglihatanku. Akhirnya kuputuskan untuk mengajukan pengunduran diri kepada atasanku. Namun sungguh di luar dugaan, alih-alih menerima pengunduran diriku, ia malah menawariku kesempatan untuk menjadi asisten guru Taman Kanak-kanak (TK) yang tidak mengharuskanku menggunakan komputer. Tapi aku ragu untuk menerimanya karena tidak punya pengalaman atau pun latar belakang pendidikan guru TK.
Terlepas dari keterbatasan penglihatanku, atasanku yakin akan kemampuanku. Dorongan dan dukungannya itu meyakinkanku untuk mencoba kesempatan tersebut. Berkat komunikasi dan kerja sama yang baik dari guru kelas yang menjadi partner-ku, aku pun bisa menyesuaikan diri dengan pekerjaan baruku. Melihat tingkah polah anak-anak yang lucu dan polos itu, aku pun jatuh hati. Kendati aku menikmati pekerjaanku, namun aku tak dapat menghindari kenyataan. Perlahan tapi pasti, penglihatanku mengalami penurunan. Dan itu terjadi.
Suatu hari, saat aku mendampingi murid-muridku bermain di luar, aku hampir saja menginjak seorang anak yang sedang jongkok di hadapanku. Ya ampun, anak sebesar itu tak terlihat olehku! Tak hanya itu, aku juga mengalami kesulitan saat mendampingi anak-anak TK melakukan wisata belajar ke arena Sea World, Jakarta. Aku tidak bisa melihat dengan jelas di dalam ruangan yang temaram, alhasil bukannya aku yang menuntun anak-anak, melainkan anak-anak yang menuntunku kesana-kemari tak tentu arah, sungguh memalukan!
Pengalaman-pengalaman itu memperteguh diriku untuk mengajukan pengunduran diri yang kedua kalinya. Namun lagi-lagi atasanku memberiku kesempatan. Kali ini dia menawariku untuk bekerja di perpustakaan sekolah sebagai pendongeng bagi anak-anak TK. Keraguan kembali menghampiriku, tapi karena terlanjur jatuh hati pada anak-anak, akhirnya kuterima tawarannya.
Sebagai pendongeng, tugasku adalah bercerita, membacakan buku dan menumbuhkan minat baca anak-anak TK. Profesi ini menuntut kreatifitas. Aku harus mengumpulkan banyak alat peraga, buku cerita bergambar yang menarik dan mengandung nilai moral. Aku juga harus banyak membaca padahal penglihatanku sudah semakin menurun. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku minta bantuan temanku untuk membacakan buku lalu menulisnya kembali dengan ukuran yang lebih besar dan tebal, kemudian aku menghafalnya supaya saat bercerita tidak terkesan kaku, bisa lebih ekspresif dan memainkan intonasi suaraku.
Tak terasa, 3 tahun sudah kujalani profesi ini dan ternyata aku sangat menyukainya. Suatu hari di bulan Mei 2007, bagian personalia memanggilku dan mengatakan bahwa pihak sekolah tidak bisa memperpanjang masa kerjaku. Mereka menyuruhku
agar fokus mengobati penyakit maataku. Aku bingung, karena penyakitku ini tidak bisa disembuhkan. Sayangnya aku tak sanggup membela diri di hadapan mereka. Tambahan lagi, atasanku yang selalu mendukung dan memberiku kesempatan pun sudah lama mengundurkan diri dari sekolah itu.
Hatiku hancur, aku merasa seperti sampah! Aku tidak tahu harus kemana. Apalah arti ijazah diploma-ku ini? Apakah ada perusahaan yang mau menerima tunanetra sepertiku? Aku terpuruk dan merasa berada di titik terendah dalam kehidupanku. Kupanjatkan semua pergumulanku dalam doa.
Seiring berjalannya waktu, dukungan dan perhatian dari keluarga, teman dan sahabat pun terus mengalir. Aku mulai bangkit dan belajar beradaptasi dengan ketunanetraanku. Aku belajar menggunakan indera peraba, perasa, penciuman dan pendengaran dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Lalu aku mendapat informasi mengenai sebuah komunitas tunanetra di Jakarta.
Inilah awal aku mengenal berbagai cara dan teknologi yang akses untuk tunanetra. Aku pun mempelaajari huruf braille, orientasi-mobilitas menggunakan tongkat tunanetra, serta cara menggunakan ponsel dan komputer yang diinstall program pembaca layar. Dengan niat dan tekad yang kuat, akhirnya aku bisa menggunakan ponsel dan komputer secara mandiri. Kepercayaan diriku mulai tumbuh.
Pada Mei 2009 aku mendapat informasi mengenai program pelatihan persiapan kerja bagi tunanetra yang diadakan oleh yayasan Mitra Netra, Jakarta dan disponsori oleh sebuah perusahaan multinasional. Aku pun segera mendaftarkan diri. Puji syukur, aku bersama sebelas orang tunanetra lainnya lolos seleksi dan memenuhi syarat untuk mengikuti pelatihan yang berlangsung sekitar dua bulan itu.
Aku senang bisa berkenalan dengan semua peserta. Aku merasa tidak sendirian. Meskipun aku memiliki pengalaman kerja sebelum menjadi tunanetra, tapi setelah menjadi tunanetra, aku harus mempelajari banyak hal dan cara baru. Aku harus memulai semuanya dari nol. Ini tantangan dan pengalaman baru bagiku.
Usai pelatihan, aku dan seorang peserta pelatihan mendapat kesempatan untuk magang di perusahaan yang mensponsori pelatihan kami. Aku tak menyangka akan mendapatkan kesempatan ini. Teman seperjuanganku ditempatkan sebagai penginput data, sementara aku ditempatkan sebagai resepsionis bersama seorang karyawati yang berpenglihatan
normal. Tugas kami adalah melayani tamu serta menerima dan menyambungkan telepon masuk dan keluar yang jumlahnya mencapai puluhan hingga ratusan tiap harinya. Kucatat semua nomor telepon menggunakan braille dan net book-ku yang sudah diinstal program pembaca layar. Ternyata catatan braille dan suara dari pembaca layar yang keluar dari net book-ku itu menarik perhatian beberapa teman di kantor. Mereka terheran-heran mendengar suara pembaca layar yang terdengar asing dan memintaku untuk menuliskan nama mereka dengan huruf braille. Aku senang bisa berbagi sedikit pengetahuan tentang braille kepada mereka.
Aku menyadari bahwa sebagai tunanetra tidaklah mudah dalam mengarungi dunia kerja inklusif. Namun aku percaya, dengan adanya kesempatan, dukungan, usaha dan kerja keras, niscaya aku bisa menjadi tunanetra yang mandiri dan berguna.