Tepat pada tanggal 26 Januari 2016, Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) genap berusia 50 tahun. Sejak didirikan hingga saat ini, Pertuni telah berkarya, berjuang dan berkontribusi positif bagi upaya pemberdayaan, advokasi dan mengupayakan kemajuan hidup warga negara Tunanetra di Indonesia, di semua aspek kehidupan; pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, olahraga, perlindungan hukum dan hak asasi manusia, kesenian, dan sebagainya.
Pertuni adalah organisasi kemasyarakatan tunanetra tingkat nasional yang didirikan oleh 4 (empat) orang tokoh tunanetra yang berpendidikan tinggi pada tanggal 26 Januari 1966. Pertuni bertujuan mewujudkan keadaan yang kondusif bagi tunanetra untuk menjalankan kehidupannya sebagai individu dan warga negara yang cerdas, mandiri dan produktif tanpa diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Saat ini Pertuni memiliki kepengurusan di tingkat pusat, di 33 propinsi dan di 210 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Untuk mensyukuri 50 tahun eksistensi organisasi tunanetra pertama di Indonesia ini, Pertuni menyelenggarakan serangkaian kegiatan. Ada bakti sosial, berupa donor darah di 10 kota di Indonesia, operasi katarak di 4 kota, dan khitanan masal bagi anak dari anggota Pertuni. Ada lomba, yaitu lomba menulis bagi tunanetra dewasa dan anak/remaja, dan lomba cipta mars Pertuni. Ada pula kegiatan sosialisasi berupa parade tongkat putih, yaitu berjalan menggunakan tongkat putih secara estafet, dari surabaya hingga Jakarta – melintasi 10 kota, mulai tanggal 23 hingga 31 Januari 2016.
Menurut estimasi Kementerian Kesehatan RI, angka kebutaan di Indonesia adalah 1,5 % dari seluruh jumlah penduduk. Jika saat ini penduduk Indonesia 250 juta, berarti ada kurang lebih 3.750.000 tunanetra, baik buta maupun lemah penglihatan. Saat ini sebagian besar tunanetra masih masuk kategori keluarga pra sejahtera. Hal ini dikarenakan terbatasnya pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki, sehinga akses tunanetra ke pekerjaan masih sangat terbatas. Partisipasi anak tunanetra di bidang pendidikan pun masih rendah. Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik, 40 % dari jumlah penduduk adalah penduduk usia sekolah. berarti, 40 % dari 3.750.000 warga negara tunanetra adalah anak tunanetra.
Apa makna 50 tahun Pertuni?
“Pertuni akan terus memperjuangkan, agar warga negara penyandang tunanetra menjadi “subyek pembangunan””, ungkap Aria Indrawati, Ketua Umum Pertuni. Untuk itu, tunanetra harus menjadi sumber daya manusia berkualitas. Satu-satunya cara adalah melalui “pendidikan”. Olehkarenanya, dalam peringatan 50 tahun ini, Pertuni mencanangkan gerakan “ayo sekolah anak tunanetra”, jelas Aria.
Banyak kalangan baik pejabat publik maupun masyarakat di Indonesia beranggapan, bahwa penyandang tunanetra merupakan mahluk lemah yang pantas dikasihani, tidak produktif, hanya menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini terjadi, karena mereka lebih fokus pada apa yang tunanetra tidak bisa lakukan, yaitu, tunanetra tidak bisa melihat atau kurang bisa melihat.
Dengan kemajuan teknologi serta inovasi di pelbagai bidang, serangkaian modifikasi telah dilakukan, sehingga memungkinkan tunanetra melakukan kegiatan sehari-hari nyaris sama dengan mereka yang bukan tunanetra. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, Belajar di sekolah hingga perguruan tinggi, Membaca buku, bekerja baik sebagai karyawan maupun memiliki usaha sendiri di berbagai bidang, berinteraksi sosial baik secara nyata maupun di dunia maya melalui media sosial, menjadi pejabat publik dan berkarir di bidang politik, berolahraga, berkesenian dan sebagainya. “Kemajuan yang dicapai oleh tunanetra di negara-negara lain juga dapat dicapai oleh tunanetra di Indonesia, asal tunanetra dipenuhi kebutuhan khusus mereka di semua aspek kehidupan”, lanjut Ketua Umum Pertuni.
Kita harus memperbaharui persepsi kita pada tunanetra. Tunanetra jangan lagi dilihat sebagai kekurangan, melainkan tunanetra adalah bagian dari “keragaman manusia”. Keragaman karena tunanetra atau disabilitas pada umumnya, berdampak pada munculnya kebutuhan khusus, yang harus dipenuhi, baik oleh keluarga, pemerintah dan masyarakat.
Untuk mensosialisasikan ide-ide Pertuni, dalam peringatan 50 tahunnya, organisasi ini menyelenggarakan “parade tongkat putih” dengan tema “tongkat putih, identitas dan mata tunanetra”.
“Tongkat adalah alat mobilitas, simbol kemandirian, sekaligus identitas tunanetra”, ungkap yanto Pranoto, pengacara tunanetra yang mengkoordinatori parade ini.
Perjalanan Parade dimulai di Surabaya pada 23 Januari, menuju Tuban, berlanjut di Semarang pada 24 Januari, menuju kota solo, kota di mana Pertuni dilahirkan tepat pada 26 januari. Dari Solo parade bergerak ke Yogyakarta pada 27 Januari. Rombongan lalu menuju Banyumas pada 28 Januari, memasuki Jawa Barat menuju Garut pada 29 Januari, bergerak ke Bandung pada 30 Januari, dan tiba di Jakarta pada 31 Januari. Di kota-kota tersebut, sebanyak kurang lebih 100 tunanetra berjalan menggunakan tongkat bersama para relawan. Pemerintah daerah bersama DPRD dan masyarakat setempat menyambut mereka, berolahraga dan berkesenian bersama. Ini merupakan simbol komunikasi antara Pertuni dan pimpinan daerah setempat. Dengan sistem otonomi daerah, penyandang tunanetra seperti warga masyarakat lain adalah warga pemerintah daerah. Melalui momentum ini, Pertuni bermaksud mengatakan pada pemerintah daerah bahwa tunanetra ada, dan harus diperhitungkan keberadaan mereka, jelas Yanto Pranoto.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
- Aria Indrawati, Ketua Umum Pertuni di nomor 081511478478
- Yanto Pranoto, Koordinator Parade Tongkat Putih di nomor 081395449980
- Hediyanti Ramadhani, Humas, 083896845431.
Kunjungi pertuni di: www.localhost/pertuni_serverb