“Orang gilaaaaa…..orang gilaaaaa”. Atau, “menampilkan sosok orang buta yang tidak tahu apa-apa karena salah dalam mengorientasi lingkungan”. Begitulah olok-olok yang digunakan oleh acara komedi situasi di sebuah stasiun TV swasta.
Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) – organisasi yang melakukan advokasi untuk mereka yang mengalami gangguan kejiwaan, mengadukan hal tersebut ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pihak KPI memanggil stasiun TV, produser dan sutradara acara komedi situasi tersebut, untuk memberikan teguran serta pemahaman, bahwa hal tersebut tidak pantas dilakukan. TV adalah lembaga yang menggunakan ranah publik, berupa frekuensi untuk mengudara, sehingga dalam menyajikan apa pun, termasuk hiburan, tidak boleh menyinggung atau merendahkan sekelompok warga masyarakat. Karena teguran itu, pihak stasiun TV serta sutradara dan produser acara komedi situasi tersebut kemudian meminta maaf yang disampaikan dalam sebuah jumpa pers.
Menggunakan disabilitas untuk olok-olok memang sering terjadi di Indonesia. Bahkan hal tersebut dianggap wajar saja. Orang yang menggunakan disabilitas sebagai olok –olok pun mulai dari warga masyarakat biasa hingga tokoh masyarakat, termasuk pendakwah agama. Misalnya, mengibaratkan orang yang pengetahuannya terbatas dengan orang buta yang mengorientasi dan memahami gajah. Jika orang buta hanya memegang kaki gajah, maka mereka berpendapat bahwa orang buta menganggap gajah sebagai “bumbung yang besar”; jika orang buta hanya meraba belalainya, maka, mereka bilang, “orang buta menganggap gajah adalah seperti pipa”, dan seterusnya. Apakah benar orang buta berpikir begitu? Jika itu terjadi, bukankah kesalahan ada pada orang yang dapat melihat yang membantu orang buta mengorientasi gajah tersebut? Orang buta pun juga memiliki rasa ingin tahu. Jadi, jika orang buta meraba sesuatu, mereka akan merabanya secara keseluruhan. Dengan demikian, sangatlah tidak benar perumpamaan orang buta meraba gajah hanya sebagian saja, dan langsung membuat kesimpulan begitu. Itu olok-olok yang sangat merendahkan.
Perubahan paradigma memaknai disabilitas.
Pada bulan Desember 2006, PBB melahirkan konvensi tentang hak penyandang disabilitas (United Nation Convention on the Rights of Persons with Disability – UN CRPD). Konvensi ini telah disahkan berlakunya di Indonesia oleh Pemerintah dengan Undang-Undang nomor 19 tahun 2011 – lima tahun setelah konvensi itu dilahirkan.
Ada perubahan mendasar yang dilakukan oleh konvensi ini dalam memaknai disabilitas, – termasuk tunanetra. Sebelumnya, disabilitas hanya dianggap sebagai kekurangan. Orang yang menyandang disabilitas diupayakan direhabilitasi – yang dimaknai sebagai pemulihan, agar setelah mendapatkan rehabilitasi dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di sekitarnya.
Dengan lahirnya CRPD, penyandang disabilitas dimaknai sebagai bagian dari keragaman manusia. Manusia di seluruh dunia ini dilahirkan dalam bentuk beraneka ragam. Ada yang tinggi, ada yang sedang, dan ada pula yang pendek; ada yang berkulit hitam, ada yang berkulit putih, dan ada yang berkulit berwarna – kuning langsat, sawo matang/coklat dan sebagainya; ada pula yang dapat melihat, dan ada pula yang buta; ada yang dapat mendengar, dan ada pula yang tuli. Adanya orang buta yang tidak dapat melihat, orang tuli yang tidak dapat mendengar, orang dengan tingkat kecerdasan 70 atau 80, adalah bagian dari keragaman manusia, sama seperti keragaman lain; tinggi, pendek, kulit putih, kulit berwarna, rambut kriting, rambut lurus, dan sebagainya.
Perbedaannya adalah, keragaman karena menyandang disabilitas berdampak pada adanya kebutuhan khusus, dan kebutuhan khusus ini harus dipenuhi oleh lingkungan, baik pemerintah maupun masyarakat.
UN CRPD mendefinisikan penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki gangguan pada fungsi organ tubuh, baik fisik/motorik, intelektual, sensorik dan atau mental, dalam jangka waktu lama, yang berdampak pada adanya penyesuaian dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sedangkan disabilitas menurut UN CRPD merupakan hasil interaksi antara orang yang mengalami gangguan pada fungsi organ tubuh, misalnya tunanetra, tunarungu, tunadaksa, atau disabilitas intelektual, dengan sikap dan lingkungan yang tidak mendukung partisipasi mereka, atas dasar kesetaraan dengan orang yang lainnya.
Dengan definisi disabilitas sebagaimana tersebut di atas, UN CRPD telah menggunakan pendekatan “social model”. Artinya, lingkunganlah yang harus menyesuaikan diri dengan kehadiran para penyandang disabilitas. Lingkungan yang telah menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk semua disebut lingkungan yang “inklusif”. Misalnya, lift dilengkapi dengan tombol Braille dan audio display agar tunanetra dapat menggunakannya secara mandiri. posisi Tombol dianjurkan tidak terlalu tinggi agar pengguna kursi roda dapat menjangkaunya. Jika ada tempat bertangga, misalnya lobi suatu gedung, harus dilengkapi dengan ram atau bidang miring, agar pengguna kursi roda dapat melaluinya. Sekolah reguler dan perguruan tinggi yang menerima siswa dan mahasiswa disabilitas, harus menyediakan fasilitas khusus yang diperlukan siswa dan mahasiswa penyandang disabilitas, Dan sebagainya.
Dengan adanya UN CRPD, secara perlahan tapi pasti, dunia kita harus didesain ulang, baik secara fisik maupun sosial, agar menjadi tempat tinggal yang nyaman untuk semua, termasuk untuk warga dunia penyandang disabilitas, dan UN CRPD menjadi referensi utama dalam proses rekayasa ulang tersebut.
Apa dampak menjadikan disabilitas sebagai olok-olok?
Suatu kali, saya berdialog dengan orang tua yang memiliki anak tunanetra. Dalam dialog tersebut, salah satu yang dianjurkan adalah mendorong orang tua agar mengajak anak tunanetra mereka jalan-jalan, sebagai salah satu cara membantu anak tunanetra bersosialisasi di masyarakat. Jalan-jalan yang dimaksud tidak harus ke tempat yang jauh. Di lingkungan sekitar pun tidak apa-apa, termasuk di antaranya ke tempat-tempat publik yang biasa dikunjungi keluarga, misalnya mal, atau taman publik, dan tempat hiburan rakyat lainnya.
Salah satu respon dari orang tua, khususnya seorang ibu, adalah: “ah, cape menjawab pertanyaan orang-orang tentang anak saya”, “anak ibu ngga bisa lihat ya?” “Kan sudah tahu anak kita tidak bisa melihat, mengapa juga masih ditanya-tanya.” Bukan tidak mungkin, ibu yangmemberikan respon tersebut mewakili banyak ibu-ibu lain yang memiliki anak penyandang disabilitas.
Adanya respon semacam itu dari orang tua yang memiliki anak tunanetra bukan tidak mungkin berarti orang tua tersebut menganggap pertanyaan itu sebagai “olok-olok”. Dan jika ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin, orang tua tersebut enggan, atau malu, membawa anak mereka yang menyandang disabilitas ke luar rumah untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan melakukan kegiatan di luar rumah bersama masyarakat.
Jika ini terjadi, tentu dampak tidak baiknya ada pada anak-anak disabilitas. Mereka kurang mendapatkan kesempatan melakukan kegiatan di luar rumah, yang sebenarnya sangat mereka perlukan, sebagai proses belajar bersosialisasi di masyarakat.
Untuk mengatasi kondisi ini, upaya yang dilakukan harus multi dimensi. Di satu sisi, memberikan penguatan pada orang tua yang memiliki anak-anak disabilitas, agar lebih berpikir positif, dan lebih berorientasi pada anak-anak mereka, bukan pada perasaan mereka. Di sisi lain, masyarakat juga harus didorong dan dididik, agar tidak lagi menggunakan disabilitas sebagai “olok-olok”, apa pun bentuknya, termasuk dan terutama media massa, dan belajar membangun sikap empati pada penyandang disabilitas serta keluarga dan orang tua yang memiliki anak-anak/anggota keluarga penyandang disabilitas.
Betapa seriusnya dampak menjadikan disabilitas sebagai bahan “olok-olok”. Jadi, mari kita “stop gunakan disabilitas sebagai olok-olok”.
*Aria Indrawati.