Bayi yang bukan tunanetra akan terstimulasi oleh penglihatannya. Saat ia mulai dapat melihat sesuatu, ia akan terstimulasi untuk menggerakkan kepala, memiringkan tubuhnya dan tengkurab, bahkan merangkak. Keinginan untuk menjangkau obyek-obyek yang dilihatnya akan mendorong bayi yang bukan tunanetra bergerak dari satu titik ke titik lain. Dan saat itulah ia mulai merangkak, bahkan berjalan.
Lalu, bagaimana dengan bayi tunanetra yang tidak dapat melihat (buta) atau kurang dapat melihat (lemah penglihatan)? Apa yang menstimulasi mereka bergerak?
Pada prinsipnya, tunanetra yang tidak dapat melihat mengorientasi lingkungan dengan indera pendengaran dan indera perabaan. Sementara, yang masih memiliki sisa penglihatan, masih dapat menggunakan penglihatannya untuk mengorientasi lingkungan; hal ini sangat tergantung pada berapa persen sisa penglihatan tersebut, bagaimana kondisi sisa penglihatan tersebut – apakah ada di pandangan tengah, atau pandangan tepi, atau sisa pandangan itu tidak merata, serta, apakah sisa penglihatan pada salah satu mata atau kedua mata. Olehkarenanya, untuk membantu bayi tunanetra agar terdorong untuk bergerak, diperlukan stimulasi lebih dari orang-orang yang ada di sekitarnya, khususnya orang tua.
Persoalan yang muncul adalah, pengetahuan dan kesadaran para orang tua akan pentingnya stimulasi lebih tersebut pada bayi-bayi tunanetra mereka. Kurangnya pengetahuan ini antara lain disebabkan kurangnya informasi, dan belum adanya lembaga yang secara khusus memberikan layanan dini pada anak-anak tunanetra (early intervention service for blind children”. Hal ini berdampak pada bayi tunanetra sering mengalami keterlambatan dalam perkembangan. Dan jika ini dibiarkan, dapat menimbulkan disabilitas tambahan, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Perkins School For The Blind, sebuah lembaga asal Amerika, dikenal sebagai lembaga yang memberikan pelatihan untuk para pelatih yang selanjutnya diharapkan mengajarkan orang tua yang memiliki bayi tunanetra, bagaimana memberikan stimulasi tambahan untuk tumbuh kembang bayi tunanetra yang maksimal. Perkins School For The Blind dahulu adalah tempat di mana “Helen Keller”, tokoh buta tuli dunia menjalani pendidikan di masa kanak-kanaknya. Di Indonesia, lembaga ini memiliki seorang representative, yang memiliki tugas mengembangkan layanan intervensi dini anak tunanetra.
Pada tanggal 7 Mei 2016 lalu, saya berkesempatan menghadiri kegiatan pelatihan “Perkins” untuk orang tua yang memiliki bayi tunanetra. Kegiatan dilaksanakan di kediaman sebuah keluarga yang memiliki anak tunanetra, yang telah melewati fase usia dini dengan baik, di kawasan Pondok Gede Bekasi.
Kegiatan itu dihadiri oleh 4 keluarga yang memiliki anak tunanetra usia dini, mulai dari 7 bulan hingga 6 tahun, baik tunanetra dengan disabilitas tunggal maupun majemuk. Tampak sekali perbedaan, dua bayi tunanetra yang usianya hampir sama, dan sama-sama disabilitas tunggal, namun, perkembangannya tampak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan bayi yang berkembang lebih maksimal mendapatkan stimulasi lebih yang ia butuhkan.
Minimnya layanan.
Di Pulau Jawa saja, jika kita mencari di mana ada lembaga yang menyediakan dan mengembangkan layanan dini anak tunanetra, masih sangat langka. Bagaimana dengan luar jawa? Di beberapa kota besar di Jawa, layanan dini anak tunanetra diinisiasi oleh lembaga swasta, yang kadang-kadang dikelola oleh lembaga dengan interes tertentu. Hal ini tak jarang menjadi pertimbangan orang tua untuk tidak membawa bayi tunanetra mereka ke sana.
Di negara tetangga, contohnya Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina dan Singapura, layanan untuk anak tunanetra usia dini terintegrasi dengan sekolah luar biasa atau pusat sumber penyedia layanan untuk tunanetra. Di Indonesia, hal itu belum terbangun. Ketiadaan dukungan yang dapat dijangkau orang tua dengan mudah berdampak pada sikap orang tua. Mereka merasa sendiri, takut dan khawatir bagaimana harus mendidik dan mengasuh anak tunanetra mereka, dan tentu juga khawatir akan masa depan mereka.
Orang tua yang memiliki bayi tunanetra butuh ditemani. Dan teman terbaik mereka adalah “layanan anak tunanetra usia dini”. Di lembaga penyedia layanan anak tunanetra usia dini, biasanya juga mengadakan “kelompok dukungan” sesama orang tua atau “parrent supporting group”. Kelompok dukungan ini sangat penting. Di dalam kelompok ini, biasanya antar orang tua saling berbagi, saling memberi solusi untuk tantangan yang dihadapi. Ini merupakan sesi konseling kelompok yang sangat efektif.
Kehadiran saya sebagai seorang tunanetra pada pelatihan mengasuh anak tunanetra usia dini yang diahdiri para orang tua pada 7 Mei lalu juga bertujuan memberikan “inspirasi” pada para orang tua tersebut, khususnya orang tua yang memiliki anak tunanetra dengan disabilitas tunggal. Kehadiran “role model” merupakan konfirmasi penting bagi orang tua. Jika anak tunanetra diasuh dan didik dengan penuh kasih sayang, dengan baik sesuai kebutuhan mereka, kelak anak-anak tunanetra akan menjadi tunanetra dewasa yang mandiri.
*Aria Indrawati